Senin, 20 April 2009

"Fala Raha" Dalam Kancah Demokrasi


Oleh; Krishna P Panolih

MALUKU Utara merupakan sebuah kancah tarik-menarik antara kekuatan tradisional lama dan kekuatan baru administrasi pemerintahan modern. Kekuatan aristokrasi seclang mendapat ujian berat lewat prosedur demokrasi yang tecermin dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum.Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di Maluku Utara yang digelar tahun 2007 lalu menjadi sebuah peristiwa dramatis, penuh dengan nuansa perebutan pengaruh antara aristokrasi tradisional yang bersifat lokal dan sistem demokrasi.
Keputusan KPU Maluku Utara, yang menggagalkan pencalonan Sultan Ternate Mudaffar Sjah dalam Pilkada Maluku Utara karena dinilai tidak mampu mengumpulkan dukungan suara yang dipersyaratkan, menjadi persoalan yang pelik bagi eksistensi aristokrasi lokal dan tokoh yang berpengaruh luas dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara itu. Mudaffar-Rusdi hanya didukung sekitar 12 persen suara dari PPP dan lima partai lain. Padahal, calon harus didukung partai atau gabungan partai dengan minimal 15 persen suara atau kursi di DPRD. Kekurangan dukungan itu disebabkan dua pengusung lain, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), dinilai merupakan kubu sempalan yang tak direkomendasi pengurus pusat.
Penilaian KPU ini tidak bisa diterima oleh kubu pendukung Sultan. Konflik dan bentrokan fisik pendukung Sultan dengan aparat keamanan hingga pendudukan kantor KPU setempat menjadi titik rawan tahap awal pilkada. Tampaknya konflik tidak hanya berhenti pada saat pencalonan saja. Konflik paling luas justru terjadi pascapencoblosan. Penghitungan suara Pilkada Maluku Utara menjadi momen yang paling rawan dari seluruh pilkada yang berlangsung di Indonesia, menguras energi dan menjadi konflik yang berkepanjangan. 
Pilkada Gubernur Maluku Utara diikuti empat pasang, yaitu Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo, Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba, Irvan Eddyson-Ati Achmad, dan Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel. Hasil penghitungan suara oleh KPU Maluku Utara menunjukkan Armaiyn-Kasuba menang tipis dari pasangan Gafur-Fabanyo, 37,35 persen berbanding 37,17 persen. Namun, keputusan ini kemudian dianulir oleh KPU pusat. Rapat Pleno KPU pusat justru memutuskan sebaliknya, kemenangan untuk Gafur-Fabanyo. Sejak itu konflik terbuka antara kedua pendukung terus mewarnai dunia perpolitikan Maluku Utara. Proses selanjutnya melibatkan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Menteri Dalam Negeri. Pada akhirnya diperlukan campur tangan pemerintah pusat untuk menyelesaikan. Lewat perdebatan yang panjang akhirnya Armaiyn-Kasuba diputuskan sebagai pemenang.
Sesungguhnya, Pilkada Maluku Utara adalah pemetaan riil dari kekuatan-kekuatan politik yang berkolaborasi dengan etnisitas. Thaib Armaiyn, yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, PBR, PBB, PKPB, dan PKB, sebelumnya adalah gubernur yang berasal dari Halmahera Selatan. la diperkirakan mendapat dukungan dari etnis Makian yang termasuk satu dari tiga etnis besar di Malut. Adapun calon wakilnya, Abdul Ghani Kasuba, mengandalkan dukungan dari etnis Tobelo dan Galela-dua etnis besar di Maluku Utara. Pasangan tersebut juga mendapat dukungan Sultan Ternate sehingga berpotensi mendulang suara dari masyarakat Ternate.
Sementara itu, Gafur-Fabanyo, yang diusung oleh Partai Golkar, mengandalkan dukungan massa tradisional dari daerah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Mereka diduga mendapat dukungan dari etnis Tidore, Patani, Weda, dan Gane. Mereka juga mendapat dukungan dari tim suksesnya, Syamsir Andili, yang dikenal dekat dengan kalangan pendatang asal Gorontalo, Buton, Bugis, dan Jawa. Pasangan ketiga, Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel yang didukung PDI-P mengandalkan dukungan etnis Sanana dan beberapa kantong masyarakat di Pulau Halmahera, khususnya yang tinggal di pelosok. Dan, pasangan terakhir, Irvan Eddyson-Ati Achmad yang didukung PDS, PNI Marhaenisme, Partai Merdeka, PIB, PKPI, PPDI, dan PPNUI lebih mengandalkan massa tradisional dari Galela dan Morotai. Jika ditelusuri, kekuatan politik paling berpengaruh pada masa lalu adalah Kesultanan Ternate dan Tidore meskipun bukan hanya mereka yang pernah hadir membentuk warna politik di sini. "
"Fala Raha"
Lanskap politik di Maluku Utara tak bisa dilepaskan kaitannya dengan jazirah kekuasaan empat kerajaan yang membentuk konfigurasi kekuatan politik pada kemudian hari. Jazirah itu adalah wilayah kekuasaan empat kerajaan yang dikenal denganTala Raha atau Moloku Kie Raha, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Istilah Maluku pada mulanya hanya digunakan untuk merujuk empat pusat kerajaan di Maluku Utara tersebut.Ada sejumlah dugaan bahwa Kerajaan Jailolo merupakan yang tertua dibandingkan dengan kesultanan lainnya. Kerajaan ini ditengarai berkuasa di Halmahera sebelum wilayah ini kemudian dikuasai Kerajaan Ternate dan Tidore pada awal abad ke-17.
Sejak runtuhnya kekuasaan Jailolo, wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore makin luas. Selain Pulau Ternate, wilayah kekuasaannya juga meliputi Halmahera Utara dan Selatan. Selain itu, kekuasaannya juga mencakup wilayah Kepulauan Sula, Kepulauan Banggai, serta daerah Tobungku di Sulawesi bagian timur. Sementara itu, Tidore menguasai Halmahera Tengah, tetapi kekuasaannya juga menjangkau wilayah Laut Halmahera dan Laut Seram sampai ke pesisir Irian Jaya. Adapun Kesultanan Bacan berkuasa di Pulau Bacan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (RZ Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo, 1996).
Status provinsi yang melekat pada Maluku Utara bisa dibilang merupakan fenomena penting di kawasan seluas 140.366,32 kilometer persegi ini. Saat masih jadi bagian dari Provinsi Maluku, Maluku Utara berpredikat kabupaten, bersama (Kabupaten) Halmahera Tengah, dan Kota Administratif Ternate.Keinginan untuk mandiri sebagai provinsi sudah dimulai sejak 1957, saat Pemerintah RI memulai upaya mengembalikan Irian Barat tahun 1956. Kemudian, pada 1963 sejumlah tokoh dari parpol, seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), mencoba lagi upaya itu, tetapi kandas. Begitu pun ketika sejumlah tokoh dari Delegasi Rakjat Maluku Utara mendesak hal tersebut kepada pemerintah pada akhir 1966.
Tokoh, penulis, dan pengusaha terkenal asal Maluku, Des Alwi, dalam buku Sejarah Maluku (2005) menyatakan, pada masa kekuasaan Presiden Soekarno (1950-1965), saat segala sesuatu berpusat pada Jakarta, Maluku adalah provinsi yang paling terpencil dan paling dilupakan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Baru pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie daerah ini resmi menjadi provinsi, tepatnya pada 12 Oktober 1999. Berikutnya Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan bergabung pada 2003, serta terakhir Morotai (2008). Maluku Utara merupakan cerminan sebuah provinsi dengan mayoritas (87 persen) penduduk beragama Islam dengan konsentrasi terbesar di Kota Ternate dan Halmahera Selatan. Pemeluk agama lainnya, yaitu Protestan, relatif terkonsentrasi di Halmahera Utara. Adapun pemeluk Katolik banyak mendiami Kepulauan Sula.
Perubahan konfigurasi
Maluku Utara merupakan basis Masyumi yang cukup kuat, sebagaimana tergambar dari hasil Pemilihan Umum 1955. Di sini Masyumi memperoleh 44,6 persen. Partai Islam selain Masyumi relatif tidak eksis di pemilu awal tersebut. PSII hanya meraih 0,5 persen suara. Partai lain yang cukup sukses adalah Parkindo yang memperoleh 22 persen suara. Suara untuk partai-partai nasionalis relatif tersebar. Secara keseluruhan partai-partai nasionalis mampu mengumpulkan suara 32,6 persen, dengan dukungan terbesar berasal dari Partai Indonesia Raya (PIR) Hazairin (14,8 persen) dan PNI (13 persen). Dalam Pemilu 1999 wilayah Maluku Utara dan Halmahera Tengah masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku. Pemilu ini memperlihatkan keunggulan Partai Golkar di wilayah ini. Golkar menang di dua kabupaten itu dengan meraih dukungan 43,47 persen. Tempat kedua dipegang oleh PDI-P (17,38 persen) dan selanjutnya PPP (16,66 persen).
Pemetaan yang lebih jelas dapat dilihat pada Pemilu 2004, ketika wilayah ini sudah berdiri sendiri dengan memiliki delapan kabupaten/kota. Meskipun Golkar menjadi pemenang, suaranya telah jauh berkurang, menjadi hanya 23,53 persen. Wilayah-wilayah yang dikuasainya pun hanya di lima kabupaten/kota, yaitu Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan. Tempat kedua justru dipegang oleh PKS yang mampu meraih 10,57 persen dan memenangi Halmahera Selatan yang mayoritas memeluk agama Islam. Partai kecil yang di sini sangat diperhitungkan adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK). PDS mampu memenangi suara di Halmahera Utara, tempat pemeluk agama Protestan kuat, dan PDK meraih kemenangan di Kota Ternate yang didominasi kekuatan Islam. Kemenangan PDK di sini tak lepas dari dukungan Sultan Mudaffar Sjah.
Konfigurasi politik di Maluku Utara masih sangat mungkin berubah. Salah satu sebabnya adalah pengaruh kemenangan dan kekalahan dalam pilkada. Sejauh ini hanya PKS yang konsisten memenangi pilkada di wilayah basis massanya. Sementara itu, meskipun menang di beberapa wilayah yang dikuasainya pada pemilu lalu, di Halmahera Barat, Halmahera Timur, dan Halmahera Tengah Golkar kalah dalam pilkada. Sebaliknya, meskipun tidak menang di satu pun daerah pada Pemilu 2004, PDI-P berhasil menancapkan kukunya dengan meraih kemenangan di tiga wilayah basis massa Golkar. Kekalahan Golkar menjadi kemenangan PDI-P. Tampaknya, wilayah Halmahera memang akan menjadi arena pertarungan yang ketat antara dua partai ini dalam Pemilu 2009. Namun, kekuatan Partai Demokrat dan PKS yang terus tumbuh tetap perlu diperhitungkan, selain partai-partai baru yang juga mencari peluang.(http://indonesiamemilih.kompas.com, 2009)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar