Jumat, 08 Mei 2009

Tarian Cakalele

Cakalele merupakan tarian tradisional Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Di kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sedangkan penari perempuan mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di kedua tangannya. Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup. Tari Cakalele disebut juga dengan tari kebesaran, karena digunakan untuk penyambutan para tamu agung seperti tokoh agama dan pejabat pemerintah yang berkunjung ke bumi Maluku. Keistimewaan tarian ini terletak pada tiga fungsi simbolnya. (1) Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang. (2) Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. (3) Tameng (salawaku) dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat. (http://budaya-indonesia.org)

Selasa, 05 Mei 2009

RAPIA HAINUWELA: Asal-Muasal Perpecahan di Nunusaku (Versi Negeri Amahai)

Suatu mitos atau cerita yang diyakini benar adanya oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang berhubungan dengan jati diri dan identitas masyarakat itu dapat saja hadir dengan versi-versi yang berbeda.Setelah saya menelusuri cerita tentang Nunusaku dan pemencaran masyarakat keluar dari tempat sakral pertama itu, maka cerita tentang Rapia Hainuwela/ Hainuwele mendapat tempat yang utama sebagai asal-muasal terpencarnya masyarakat itu. Cerita ini pun hadir dengan versi-versi yang berbeda tetapi memiliki alur dan konteks yang sama.Saya hendak menghadirkan versi Rapia Hainuwela menurut Cerita dari Negeri Amahai, seperti ini:
Nunusaku atau Beringin Sakti adalah salah satu tempat di pusat pulau Seram yang diyakini sebagai tempat asal manusia di seantero Maluku oleh orang-orang Maluku. Dinamakan Nunusaku karena pada tempat itu tumbuh sebatang pohon beringin yang sakti, yang sulit ditemukan oleh orang-orang yang bukan asli Nunusaku. Dari Nunusakulah terpancar ke luar, ke berbagai tempat di Maluku, orang-orang Maluku. Cerita tentang perpencaran orang-orang Maluku ke luar dari Nunusaku itu dikenal dengan cerita Rapia Hainuwela.
Persatuan di Nunusaku sukar dipertahankan. Karena perbedaan, perpecahan tidak dapat dijembatani lagi. Orang mulai berbondong-bondong meninggalkan Nunusaku.Asal-muasal perpecahan yang mengakibatkan perpencaran itu adalah sebagai berikut:Seorang Upu Latu (pimpinan adat) yang bernama Tuwale, artinya matahari, tidak mempunyai anak. Ia dan istrinya selalu merindukan mempunyai seorang anak, tetapi kerinduan itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Tuwale adalah seorang yang senang menyadap tandan atau mayang kelapa untuk diambil niranya (sageru). Pada suatu hari, ia pergi menyadap (tipar) mayang kelapa. Malang baginya, tangan kirinya tersayat pisau tipar yang tajam dan darah akibat sayatan itu tumpah, masuk ke dalam tabung bambu yang digunakan untuk menampung nira hasil sadapan. Keesokan harinya, Tuwale kembali untuk mengambil nira. Ketika hendak menuangkan nira kelapa, tiba-tiba terdengar seruan: “siramlah baik-baik, karena saya berada di sini, saya adalah campuran antara darahmu dan air nira kelapa”. Dengan penuh gembira tetapi was-was, Tuwale sangat berhati-hati mengeluarkan isi tabung itu. Dengan tercengang ia melihat keluar seorang bayi mungil yang cantik jelita. 
Telapak kakinya hampir menyerupai buah kelapa. Bayi mungil itu dibawa pulang dengan sukacita. Setiba di rumah, bayi itu diserahkan kepada istrinya, diiringi cerita tentang apa yang pernah terjadi. Istrinya menerima bayi mungil yang cantik itu dengan gembira. Mereka kemudian menamakan dia RAPIA HAINUWELA (RH) = Putri Kelapa. Rapia Hainuwela dipelihara dengan penuh kasih sayang. Dalam pertumbuhannya, RH menjadi seorang putri yang cantik jelita. Ketika beranjak dewasa, tampaklah parasnya yang belia dan ceria. Mata dan raut wajahnya laksana bidadari yang tak ada tandingannya di pedalaman Pulau Seram – Nunusaku itu. Sudah banyak orang, tua-muda bertandang ke rumah Tuwale hanya untuk menyaksikan kecantikan RH.
Kedua orang tuanya pun menyadari bahwa sudah saatnya putri mereka itu dipertunangkan. Masalahnya adalah sangat banyak orang yang memiliki keinginan untuk mempersunting RH menjadi istri. Oleh karena itu, orang tua RH kemudian membuka kesempatan kepada siapa saja untuk mengajukan lamaran dan akan diseleksi. Dibentuklah panitia seleksi yang kemudian merancang bentuk seleksi dan mengumumkan bahwa ada beberapa jenis pertandingan yang harus diikuti oleh setiap pelamar untuk menentukan siapa yang berhak bertunangan dan mempersunting RH menjadi istri. 
Tiba pada hari-hari pertandingan, semua orang menyambut gembira pertandingan itu karena sang putri sebagai hadiah yang ditawarkan turut hadir untuk memberikan semangat kepada semua peserta. Ketika pertandingan demi pertandingan berjalan beberapa hari, terlihat bahwa banyak sekali peserta yang berguguran satu demi satu. Walaupun kecewa, mereka tidak menunjukkannya dan tetap menghadiri sayembara itu karena ingin melihat sang putri yang tetap hadir. Akhirnya, pertandingan atau sayembara itu dimenangkan oleh seorang pemuda yang kekar, gagah, tinggi dan berparas menarik. 
Sang pemuda itu bernama Litiloly (L). Walaupun L keluar sebagai pemenang, dia belum terlalu senang karena dia harus memperlengkapi dirinya dengan berbagai penangkal yang bakal datang menimpa dirinya kelak. Sebagai seorang laki-laki, orang tuanya mempersiapkan dia dengan segala pelengkapan dan “pakaian laki-laki” yang ada. Persiapan-persiapan itu dilakukan sematang mungkin karena L setelah memenangkan sayembara, bukan saja akan menjadi suami dari RH, tetapi ia akan menjadi Kapitan Besar menggantikan ayah sang putri. Sebagai seorang calon Kapitan Besar, sudah tentu dia harus punya kharisma, keahlian dan sifat serta kepandaian yang menunjang untuk jabatan itu. Yang penting untuk jangka pendek adalah kondisi kesehatannya harus prima untuk menyunting sang putri.
Panitia perayaan perkawinan pun dibentuk dan mereka bekerja keras untuk merencanakan perkawinan secara besar-besaran. L dan orang tuanya juga mengadakan persiapan-persiapan. Pesta perkawinan akan diawali dengan pesta ‘maro-maro’ atau ‘maku-maku’, suatu tarian khas orang Seram, yaitu tarian pergaulan dan persaudaraan yang diiringi oleh kapata dan kabata, atau nyanyian-nyanyian rakyat yang menceritakan kisah-kisah tertentu. Acara maro-maro ini akan dilaksanakan selama tujuh hari, tujuh malam. Setiap malam, maro-maro berlangsung dengan meriahnya, orang dari berbagai jurusan berdatangan menghadirinya. 
Setiap malam, maro-maro berlangsung selama semalam suntuk dan putri RH menghadirinya sampai pagi hari. L juga menghadirinya, tetapi kadang-kadang ia pulang lebih awal karena orang tuanya berusaha agar kondisi kesehatannya tetap berada dalam keadaan sehat. Usaha itu dilandasi dengan pemahaman bahwa tetap saja dalam pesta-pesta seperti itu, ada orang-orang yang iri hati dan cemburu sehingga dapat mendatangkan niat-niat kurang baik. Niat-niat itu dapat diwujudkan dalam perangkap-perangkap yang kalau tidak hati-hati, akan menjebak diri L serta RH. L tidak mengikuti maro-maro sampai pagi hari, malahan pada siang hari tidak menghadiri pesta itu dengan alasan kurang sehat. Alasan kurang sehat itu kemudian menjadi bahan pergunjingan dan menuduh panitia berlaku tidak adil karena menjatuhkan pilihan pada orang yang sakit-sakitan. 
Oleh karena L selalu menghindari jebakan dan perangkap para pesaingnya, maka mereka pun mengubah rencana dan menjadikan putri RH sebagai sasaran berikutnya. Pada malam terakhir pesta maro-maro, semua orang yang hadir bermaro-maro dengan asyiknya. Tifa dan gong berbunyi bersahut-sahutan dan sambung menyambung, mengiringi kapata dan kabata yang dilantunkan. Tuak dan sirih pinang serta penganan lain disuguhkan terus-menerus dengan tiada putusnya. Apalagi kapata yang dilantunkan adalah lirik yang meminta: Toti apapua maeyale malahano ooooo. Suasana dan situasi seperti inilah yang memudahkan perangkap atau jebakan dipasang. 
Para penjebak kemudian menggali lobang seperti liang lahat di sekitar tempat pesta maro-maro. Ketika tifa dan gong semakin keras ditabuh, orang-orang mulai mabuk dan lupa diri, mereka mulai menjalankan aksinya. Putri RH diajak menari dan bermiri-miri sambil maro-maro dengan asyiknya. Semua orang berlompat dan bergembira karena sang putri pun kelihatan gembira dan senang. Putri diajak menari mengarah ke lobang yang sudah digali itu dan dalam sekejap, dia sudah dijatuhkan ke dalam kolam itu dan pingsan. Pada waktu itulah, mereka menutup lobang itu sehingga sang putri pun hilang dalam pesta maro-maro yang dilaksanakan khusus untuk mengawali perkawinannya itu.
Pesta maro-maro berjalan sampai pagi tanpa ada yang menyadari bahwa putri RH telah ditimpa malapetaka. Para pembunuh dan pembuat makar merahasiakan perbuatannya sehingga tidak tercium. Ketika siang tiba, matahari memancarkan sinarnya dengan terik dan orang mulai kembali bekerja seperti biasa, barulah orang tua putri RH menyadari bahwa putri mereka hilang. Mereka mulai mencari-cari di mana sang putri berada, namun tidak ditemukan di semua tempat. Akhirnya, dibuatlah alarm dan gogompar agar semua orang keluar mencarinya, tetapi sia-sia belaka. Hal itu disebabkan karena lobang tempat putri RH dikubur telah rata terinjak-injak oleh orang-orang yang barmaro-maro dan berlompat-lompat di atasnya. Beberapa hari mereka mencari-cari tetapi tak kunjung bertemu. Begitu susah dan sedihnya orang tua sang putri. Berbagai mawe atau upaya mencari tahu yang dilakukan oleh para dukun dilakukan, tetapi para pelaku pun memiliki kemampuan perdukunan yang dapat menghilangkan jejak-jejak yang dapat ditelusuri oleh paranormal atau dukun orang tua sang putri. 
Namun demikian, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Bangkai gajah tak mungkin dapat ditutupi dengan niru. Pada suatu malam, Tuwale tidur dengan sedihnya dan bermimpi. Putri RH datang kepadanya dalam mimpi dan mengatakan kepadanya agar tidak mencarinya jauh-jauh. Orang-orang telah menyusahkan dan membunuhnya. Ia ditanam dan ditimbuni dengan tanah pada tempat pesta maro-maro diadakan. Ia meminta ayahnya menggali di situ, pasti jasadnya akan ditemukan. Atas petunjuk itu, pagi-pagi sekali diadakan penggalian. Orang-orang bekerja untuk menggali dengan susah payah karena tanah penimbunan telah menjadi padat karena terinjak-injak orang yang bermaro-maro. 
Namun demikian, mereka bekerja dengan tekun sesuai dengan petunjuk yang ada dalam mimpi. Ketika matahari telah condong ke barat, putri HR pun ditemukan. Ia belum mati, namun sekarat. Berbagai usaha yang dilakukan untuk menolong nyawanya tidaklah berhasil dan sia-sia. Ia terlalu lama terbenam dalam tanah. Putri HR pun akhirnya meninggal. Orang tuanya sangat sedih, lebih dari itu, mereka sangat murka. Namun mereka dapat mengendalikan diri, menanti sampai putri HR dimakamkan dengan baik-baik. Acara pemakaman berjalan dengan pasawari yang sesuai dengan adat dan kepercayaan yang berlaku.
Setelah semua usai, Tuwale mulai mengadakan cakalele atau tarian perang dan diikuti oleh semua orang yang menaruh simpati kepadanya. Terjadilah pemberontakan di pusat Nunusaku oleh Tuwale dan kelompoknya. Pemberontakan itu dilanjutkan dengan keluarnya Tuwale dan semua orang yang bersimpati kepadanya dari Nunusaku.Perjalanan keluar itu berjalan amat lamban karena sering terjadi perang antar kelompok untuk merebut daerah-daerah kekuasaan, dan hampir yang selalu terjadi adalah yang kuat menindas yang lemah. 
Rombongan suku Alune berpencar ke adar Barat dan banyak di antara mereka meninggalkan Nusa Ina lewat pesisir Selatan kemudian menuju pulau-pulau Lease dan Ambon, juga menuju ke Buru, Manipa, Ambalau terus ke Utara di kepulauan Maluku Utara. Sebagian kecil juga menuju ke Utara dan Timur, sedangkan sebagian menyebar ke Seram Barat.Rombongan suku Wemale, berpencar ke arah Timur, kemudian ke Utara. Ada juga yang ke pesisir Selatan dan meninggalkan pulau Seram. Sisanya menyebar juga di Seram Barat. Perpindahan keluar pulau Seram, banyak yang melalui aliran “wae le telu” atau “tiga batang air”, yaitu Tala, Eti dan Sapalewa menuju ke pulau-pulau Ambon, Lease, Buru, terus ke Maluku Utara dan Maluku Tenggara.(Jusuf Nikolas Anamofa, http://tal4mbur4ng.blogspot.com).



Senin, 04 Mei 2009

Upacara Rujena Pada Masyarakat Nualu

1. Asal Usul
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang terdapat di Provinsi Maluku, Indonesia. Di kalangan mereka ada sebuah tradisi yang termasuk dalam upacara di lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan, khususnya bagi laki-laki, dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa lampau kedewasaan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan pengayauan (pemenggalan kepala). Artinya, seorang anak laki-laki dianggap sebagai dewasa jika ia telah melakukan pengayauan, karena dengan berhasilnya memenggal kepala musuh berarti ia dianggap mampu melindungi warga masyarakatnya, khususnya anak-anak dan kaum perempuan. Dewasa ini tradisi itu tidak dilakukan lagi. Sebagai gantinya, mereka mengembangkan tradisi baru dalam menentukan kedewasaan seorang anak laki-laki, yaitu keterampilan (kemahiran) dalam menggunakan tombak dan panah[1].
Jadi, seorang anak laki-laki yang sudah dapat menggunakan panah dan tombak dengan baik (mahir), maka dianggap sudah dewasa. Dan, untuk mengesahkan anak tersebut menjadi orang dewasa yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa lainnya, maka diadakanlah upacara rujena yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berarti “pemakaian cawat”. Salah satu kegiatan yang bersifat simbolik dalam upacara ini adalah pemakaian cawat. Oleh karena itu, upacara ini disebut “upacara rujena”. 
Seorang laki-laki yang telah melalui upacara ini berarti sudah dianggap sebagai orang dewasa (bukan kanak-kanak lagi) dan karenanya yang bersangkutan diperbolehkan untuk membentuk sebuah keluarga. Melalui upacara ini juga yang bersangkutan pada gilirannya mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Mengingat pentingnya keahlian menombak dan memanah bagi seorang laki-laki Nuaulu, maka sejak dini (sekitar umur 5 atau 6 tahun) seorang anak laki-laki mulai diajari menombak dan memanah oleh orang tuanya. Ketika sudah agak besar (sekitar umur 9--13 tahun), biasanya diikutsertakan dalam perburuan. Oleh karena itu, anak laki-laki Nuaulu pada umur-umur tersebut biasanya sudah mahir dalam menombak dan memanah. Dan, karena dalam satu kampung biasanya anak laki-laki yang berumur 9--13 tahun lebih dari seorang, maka upacara rujena seringkali disatukan (dilakukan bersama-sama).
2. Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Ada tiga tahap yang harus dilalui dalam upacara rujena, yaitu: (1) tahap pemakaian cawat, tahap pataheri (pembunuhan hewan upacara), dan (3) tahap pengesahan sebagai orang dewasa (pesta rujena). Oleh karena itu, lama penyelenggaraannya bisa memakan waktu sampai tujuh hari. Pelaksanaan tahap-tahap tersebut dilakukan dari pagi sampai sore hari (menjelang terbenamnya matahari), kecuali acara pesta rujena yang dilakukan pada malam hari. Tempat pelaksanaan upacara rujena bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Untuk prosesi pemakaian rujena dan pataheri misalnya, kedua kegiatan tersebut bertempat di waluno (bangunan upacara) yang berada di tengah-tengah hutan. Sedangkan, pengesahan sebagai orang dewasa bertempat di suwane (rumah/balai adat) dari kelompok kerabat (soa) ayah. Adapun suwane yang dipilih untuk dijadikan tempat pengesahan adalah suwane yang momo kanatenya (pemimpinnya) umurnya lebih tua dari momo kanate-momo kanate lainnya.
Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara rujena. Pada tahap pemakaian rujena dan pataheri misalnya, kedua tahap ini dipimpin oleh momo kanate[2] . Jadi, momo kanate-lah yang memimpin prosesi pemakaian cawat dan pembunuhan hewan upacara. Jika anak-anak yang akan diupacarai berasal dari soa-soa yang berbeda, maka momo kanate yang akan menjadi pemimpin upacara adalah momo kanate yang usianya paling tua diantara momo kanate-momo kanate dari soa-soa yang mengikuti upacara. Sementara, momo kanate-momo kanate lainnya bertindak sebagai pendamping dan sekaligus saksi bagi anak-anak yang masuk dalam kelompok kerabatnya masing-masing. Kemudian, dalam pengesahan sebagai orang dewasa yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah pinawasa (pendeta adat). Ia dibantu oleh maawaka (wakil pimpinan upacara) dan seorang kurupasa (pengawal upacara) serta seorang kamama (penjaga api upacara). 
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara rujena adalah para laki-laki anggota kelompok kerabat dari soa ayah dan ibu dari masing-masing anak yang diupacarakan. Mereka ini mengikuti upacara yang diselenggarakan di waluno dan di suwane. Selain anggota kerabat, ada juga para mataken (pemuda yang telah terlebih dahulu diupacarakan). Namun, mereka hanya mengikuti upacara yang diselenggarakan di suwane. Sebenarnya, kerabat wanita dari masing-masing anak yang diupacarakan juga terlibat tetapi tidak secara langsung. Mereka hanya mempersiapkan perbekalan yang diperlukan bagi penyelenggaraan upacara di walano. 
3. Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara rujena ini adalah: (1) waluno, (2) rujena, (3) sehelai ikat pinggang yang terbuat dari kulit kayu, (4) dua helai kain berang (kain yang berwarna merah darah), dan (5) 25 buah tagalaya (sejenis bakul untuk menyimpan makanan). Waluno, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah bangunan yang dibuat khusus untuk tempat pelaksanaan upacara rujena. Bangunan yang pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong oleh para laki-laki dewasa dari soa-soa yang anggotannya akan diupacarai ini didirikan di tengah-tengah hutan. Kaum perempuan tidak boleh mendekati bangunan ini. Hal itu disebabkan adanya kepercayaan bahwa jika ada perempuan yang mendekatinya, maka para laki-laki yang ada di daerah tersebut, khususnya anak-anak yang akan diupacarai, akan dihinggapi oleh kekuatan gaib yang bersifat destruktif.
Rujena adalah pakaian (dalam) yang akan dikenakan pada anak-anak yang akan diupacarai. Pakaian ini terbuat dari kulit sejenis pohon beringin yang berdaun kecil. Cara membuatnya, kulit kayu diambil sepanjang 3 meter dengan lebar 10--20 cm. Kemudian, ditumbuk dengan batu kali yang telah dipahat dengan motif garis-garis miring. Setelah itu, diberi hiasan medalion dengan gerigi sebanyak 5 buah. Medalion ini adalah simbol dari sistem kepercayaan yang dianut oleh orang Nuaulu (pemujaan terhadap matahari). Sedangkan, geriginya yang berjumlah 5 buah sebagai simbol bahwa Sukubangsa Nuaulu termasuk golongan atau kelompok pata lima[3] .
Ikat pinggang yang terbuat dari kulit kayu pada dasarnya berfungsi sebagai pengencang rujena, sehingga tidak mudah melorot. Sementara itu, kain berang dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Nuaulu dan masyarakat daerah Maluku Tengah pada umumnya melambangkan keberanian, kejantanan dan kebulatan tekad. Tagalaya adalah sejenis bakul. Wadah ini dalam upacara rujena digunakan sebagai tempat untuk makanan dan daging buruan. Setiap anak yang akan diupacarai memerlukannya sejumlah 25 buah. Jadi, jika ada 10 anak yang akan diupacarai, maka tagalaya yang harus disediakan berjumlah 250 buah. 
4. Tata Laksana
Ketika para orang tua (laki-laki) menganggap bahwa anak-anaknya sudah mahir menggunakan tombak dan panah, maka mereka kemudian mengadakan rapat untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara rujena. Jika telah ada kesepakatan, mereka akan menemui momo kanate dari soa masing-masing untuk memberitahukan dan sekaligus meminta momo kanate untuk menjadi pemimpin soa-nya. Selain itu, pemberitahuan tentang upacara rujena juga disampaikan kepada pinawasa dan pembantunya. Ini penting karena merekalah yang akan mengesahkan kedudukan seorang anak laki-laki menjadi dewasa.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan menuju ke tempat upacara dipimpin oleh momo kanate yang tertua. Setiba di tempat upacara, anak-anak laki-laki yang akan diupacarakan dimasukkan ke dalam walano. Sementara itu, kaum pria dari masing-masing anak yang akan diupacarakan mulai melakukan perburuan hewan upacara yang berupa kusu (kuskus). Masing-masing kelompok diharuskan menangkap seekor tanpa boleh melukainya. Jumlah yang dibutuhkan harus dipenuhi pada hari itu juga. Jika jumlah yang diperoleh belum sesuai dengan kebutuhan, maka upacara akan ditunda pada keesokan harinya.
 Akan tetapi, jika jumlah kusu yang dibutuhkan terpenuhi, maka momo kanate yang tertua, yang bertindak sebagai pemimpin upacara, memerintahkan anak-anak yang akan diupacarakan membentuk sebuah lingkaran. Masing-masing didampingi oleh momo kanate dan seorang saksi dari soa-nya. Mereka ditelanjangi, kemudian dicawati oleh momo kanate masing-masing. Penelanjangan dan pemakaian cawat ini disaksikan oleh para saksi dan pada peserta upacara. Setelah itu, pengelilitan ikat pinggang pun dilakukan. Selanjutnya, ikat pinggang tersebut diselipi dengan sehelai kain berang (kain berwarna merah darah). 
Kegiatan dilanjutkan dengan pembunuhan kusu. Dalam kegiatan ini setiap anak yang mengikuti upacara rujena diberi seekor kusu yang harus dipedang ekornya. Setelah itu, peserta upacara, kecuali momo kanate dan saksi dari masing-masing anak, meninggalkan waluno (masuk ke dalam hutan). Tujuannya adalah agar anak-anak mempunyai keberanian untuk membunuh kusu. Sebab, jika di tempat itu masih ada saudara-saudara soa-nya, dikhawatirkan ia akan berani membunuh hanya karena merasa mendapat dukungan moral (semangat) dari kerabatnya. 
Dengan demikian, pembunuhan kusu hanya disaksikan oleh momo kanate dan para saksi upacara. Dalam hal ini, mereka tidak hanya bertindak sebagai saksi, tetapi juga sekaligus sebagai penilai tentang: keberanian, kemampuan, dan keterampilan dari setiap anak dalam membunuh kusu. Jika seorang anak dapat membunuhnya dalam waktu yang relatif cepat, maka anak tersebut dianggap telah menjadi dewasa dengan tingkat “kejantanan” yang tinggi. Sedangkan, anak-anak yang menyelesaikan tugasnya (membunuh kusu) dalam waktu yang relatif lama, bukan berarti bahwa anak-anak tersebut belum menjadi dewasa. Mereka tetap dianggap sebagai dewasa, namun dengan kadar (tingkat) “kejantanan” yang rendah.
Sementara itu, para peserta yang sengaja pergi ke hutan, beberapa jam kemudian, kembali ke tempat upacara (walano) untuk melihat keberhasilan anak-anak yang mengikuti upacara rujena dalam pembunuhan kusu. Lamanya pembunuhan kusu itu memang sudah diperkiraan membutuhkan waktu beberapa jam, sehingga ketika mereka datang, semua kusu sudah terbunuh. Oleh karena semua hewan upacara sudah terbunuh, maka meja makan pun dipersiapkan. Semua perbekalan di dalam tagalaya dibuka dan diletakkan di atas meja makan tersebut. Kemudian, pemimpin upacara mempersilahkan semua peserta upacara (termasuk di dalamnya anak-anak yang diupacarakan) untuk memulai acara makan bersama. Dan, acara makan bersama yang merupakan pesta adat ini berlangsung selama 6 hari, sehingga setiap selesai acara makan bersama, anak-anak yang diupacarakan tetap tinggal di walano. Sementara itu, para momo kanate bersama peserta upacara memasuki hutan untuk berburu guna mengisi tagalaya yang telah kosong dengan daging-daging segar.
Pada hari keenam seluruh peserta meninggalkan waluno dan kembali menuju desa. Sebelum pergi, anak-anak yang diupacarai harus mengenakan karonum[4] sebagai tanda pengenal bahwa yang bersangkutan baru saja selesai mengikuti upacara masa dewasa tahap I dan II. Setibanya di desa, mereka disambut oleh semua pria dewasa dan diantar menuju ke suwane. Akan tetapi, sebelum menuju ke suwane, mereka harus berkumpul di suatu tempat yang letaknya agak jauh dari suwane. 
Tempat tersebut dinamakan sanahana yang ditandai dengan sebatang pohon linggua (pterocarpus indica). Sementara itu, di suwane telah hadir pinawasa yang akan memimpin upacara pengesahan bersama pembantu-pembantunya, yaitu maawaka dan kurupasa. Pada saat yang sama api yang berada di dapur suwane dinyalakan oleh kamama. Api tersebut tidak boleh padam karena bagi orang Nuaulu, ia merupakan lambang keabadian. Oleh karena itu kamama tidak diperkenankan meninggalkan dapur suwane sebelum upacara dinyatakan selesai oleh pinawasa.
Saat api di dapur suwane telah menyala dan tifa mulai dibunyikan, pinawasa mengambil hati ayam yang telah dipersiapkan sebelumnya dan memasukkannya ke dalam sebuah mangkuk. Hati ayam yang dimasukkan itu telah dipotong-potong. Jumlah potongannya biasanya kurang dari jumlah anak-anak laki-laki yang akan diupacarakan. Selanjutnya, pinawasa memberi isyarat kepada momo kanate agar anak-anak ke suwane. Setelah tiba pada tempat yang telah ditentukan mereka diminta untuk memperebutkan hati ayam yang ditempatkan di dalam mangkuk. 
Sesudah itu, mereka memperagakan tarian cakalele (tarian perang) sambil mengelilingi pohon gadihu yang terletak dekat pintu masuk suwane sejumlah 5 kali. Pada pengelilingan yang terakhir (ke-5) mereka dilantik oleh pinawasa menjadi mataken[5], yaitu sebagai warga masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan dapat bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dengan berakhirnya pelantikan oleh pinawasa, maka berakhir sudah seluruh rentetan upacara rujena. 
5. Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara rujena. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian dan gotong royong. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat di suatu tempat (pada saat acara pesta rujena di suwane), makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan secara cermat, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian. Tanpa ketelitian tidak mungkin upacara akan terselenggara dengan baik dan lancar. 
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling membantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, menghadiri pesta rujena, dan lain sebagainya. Tanpa semangat gotong-royong, upacara rujena tidak dapat terselenggara dengan baik. 
Sumber :
Suradi Hp, dkk. 1982. Upacara Tradisional Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[1] Tombak dan panah sejak zaman dahulu mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Nuaulu, khususnya untuk berburu dan berperang. Kemampuan dan keterampilan menggunakan kedua senjata tersebut bagi orang Nuaulu merupakan suatu jati diri yang melambangkan kedewasaan seorang laki-laki, sehingga orang tidak dapat berbicara tentang laki-laki Nuaulu tanpa berbicara tentang tombak dan panah.
[2] Momo kanate adalah kepala soa. Soa adalah suatu kesatuan masyarakat yang berdasarkan genealogis teritorial. Orang Nuaulu yang tinggal di daerah Amahi mempunyai 11 soa yang tergabung dalam 4 negeri (desa). Dengan kata lain, gabungan dari beberapa soa membentuk sebuah negeri. Momo kanate merupakan orang yang dipercaya untuk memimpin dan melaksanakan sebagian besar upacara bagi kelompok kerabatnya, karena merupakan lambang kehormatan dari soa. Dia merupakan tokoh yang dihormati dan disegani, dianggap memiliki kharisma-kharisma dan mempunyai kekuatan-kekuatan sakti yang dapat mengalahkan pengaruh roh-roh jahat. 
[3] Masyarakat Maluku Tengah terbagi atas dua kelompok besar yaitu pata lima dan pata siwa. Kelompok pata lima berada di daerah Pulau Seram, sedangkan pata siwa mendiami bagian daerah Seram Barat. Untuk dapat mengetahui apakah suatu kelompok masyarakat itu tergolong kedalam kelompok pata lima ataukah pata siwa, maka perlulah diperhatikan jumlah tiang yang terdapat pada sebuah suwane/baeleo. Kalau jumlah tiang suwane adalah 5 berarti masyarakat pemiliknya tergolong pata lima (5), sebaliknya kalau jumlahnya 9 berarti pemiliknya tergolong ke dalam kelompok pata siwa.
[4] Karonum merupakan sehelai kain berang yang dililitkan di kepala. 
[5] Mataken merupakan gelar yang diberikan bagi kelompok anak laki-laki yang telah selesai mengikuti upacara masa dewasa.(http://melayuonline.com, 4/5/2009)


Senin, 20 April 2009

KHASANAH BUDAYA NUSANTARA [Agama dan Pendidikan]

Oleh ; Sugeng Riyanto

Slamat Datang Goebernoer Djendral!
JIKA kita mendengar kata "kesultanan" di Indonesia, segera kita akan menghubungkannya dengan Aceh, Banten, Cirebon, dan Mataram; atau untuk sebagian orang akan menghubungkannya dengan Palembang, Ternate, atau Tidore. Hal itu wajar mengingat kesultanan tersebut begitu terkenal dan memang sangat berperan dan mempunyai kedudukan penting, paling tidak sejak abad XII hingga XIX, bahkan sampai sekarang. Namun tidak demikian dengan sebagian kecil lainnya yang mengetahui dengan pasti bahwa kerajaan Islam yang rajanya disebut Sultan sehingga kerajaannya disebut dengan kesultanan di Indonesia jumlahnya jauh lebih banyak dari yang disebutkan itu. Sebut misalnya Buton, Jailolo, dan Bacan di kawasan timur Indonesia yang "tidak terkenal" namun sebenarnya memiliki masa lalu yang cukup gemilang pada masanya.
Oleh karena itu menarik untuk menengok peristiwa kecil di sebuah kesultanan "kecil" meskipun dalam ruang yang juga kecil. Adalah Kesultanan Bacan yang meskipun "kecil," namun memiliki sisi budaya yang ternyata tidak kecil. Bacan merupakan salah satu identitas bagi moloku kie raha atau empat kerajaan besar di Maluku Utara, yang meliputi Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan sendiri. Secara administrasi, saat ini (Pulau) Bacan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Maluku Utara. Sedangkan secara geografis pulau ini berada di ujung barat daya kaki Pulau Halmahera.
Bacan dan "Moloku Kie Raha"
Sejarah Indonesia Timur tidak terlepas dari sejarah Maluku Utara. Sejarah Maluku Utara sendiri hampir sama dengan sejarah empat kesultanan besar yang pernah menguasai wilayah ini, yaitu Moloku Kie Raha: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sebagai kesultanan, jangan dibayangkan bahwa keempatnya menjadi besar secara tiba-tiba. Sebelum memeluk Islam, keempatnya telah menjadi "kolano" (setingkat dengan kerajaan) serta memiliki kedudukan dan peran tersendiri dalam perdagangan jarak jauh. Kedatangan pengaruh Islam di Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku, berkaitan dengan jalur pelayaran, khususnya pelayaran niaga, dengan rempah-rempah sebagai kata kuncinya. Inilah titik di mana pada akhirnya beberapa aspek juga berpengaruh di kawasan ini: sosial, budaya, agama, bahasa, ekonomi, bahkan politik dan militer. Terang saja karena para pedagang pada waktu itu berasal dari berbagai bangsa.
Sejak berubah dari "kolano" menjadi kesultanan pada sekitar abad XV, keempatnya secara politis berusaha mengembangkan pengaruhnya ke berbagai tempat, khususnya ke arah timur dan selatan. Tidore, antara lain dapat memasukkan pantai barat Papua ke dalam wilayahnya; Ternate berhasil meluaskan pengaruh dan wilayahnya hingga sebagian Sulawesi, sebagian Papua, Ambon, Lease, Seram, Buru, dan Banda. Sementara itu, Bacan "gagal" meluaskan pengaruhnya, namun tetap eksis sebagai kesultanan yang mandiri. Lain halnya dengan Jailolo yang bergabung dengan Ternate dan Tidore. Akibat dinamika politik dan militer dalam perluasan wilayah tersebut, berbuntut pada retaknya "moloku kie raha." Berbagai perang antara mereka sering terjadi, termasuk perang dagang. Hal ini diperparah oleh pengaruh Barat, khususnya Belanda, dengan segala sistem ekonomi dan militernya. Silih berganti Belanda memihak, dan silih berganti mendapat berbagai keuntungan dari pihak yang "dibelanya," baik secara politik maupun ekonomi. Sebagai kesultanan yang mandiri, situasi dan kondisi ini benar-benar merugikan Bacan. Pada sekitar abad XVII "secara resmi" Bacan menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. "Secara resmi" pula Sultan Bacan menjadi "tamu" di negerinya sendiri, karena tuan rumah sekarang adalah Goebernoer Djenderal Hindia Belanda.
Slamat Datang Goebernoer Djendral!
Dari bentuk kolano hingga awal kesultanan, Bacan merupakan sosok kerajaan yang mandiri. Kedudukan dan perannya cukup besar, khususnya di kawasan Maluku dan sekitarnya. Bahkan dalam kesatuan empat kerajaan ini Bacan menunjukkan unsur budaya yang juga mandiri. Sebut misalnya dalam hal bahasa. Jika Ternate, Tidore, dan Jailolo menggunakan bahasa Halmahera Utara, maka Bacan menggunakan bahasa yang berkembang di Kepulauan Sula, termasuk dalam Bahasa Austronesia. Sebut lagi misalnya dalam pengurutan nama keempat kerajaan berdasarkan Kronik Bacan: moloku kie raha adalah Bacan, Jailolo, Tidore, dan Ternate. Kronik tersebut juga menyebutkan bahwa Raja Bacan adalah putra pertama dari empat putra Jafar Sadek yang menurunkan raja-raja moloku kie raha.
Tinggalan fisik jelas tidak bisa memungkiri masa lalu Bacan yang cukup gemilang. Beberapa yang masih dapat dilihat hingga saat ini antara lain adalah: pelabuhan tua, sisa bangunan istana "Gaja Manusu," masjid agung, bangunan rumah tinggal, makam-makam kuna, dan kelengkapan kesultanan seperti mahkota, pakaian, senjata, dsb. Khususnya tinggalan fisik berupa bangunan memang tidak meninggalkan wujudnya secara utuh: jika tidak rusak (bahkan tinggal fondasi) tentu telah diputar nyaris total. Namun cerita dibaliknya masih tetap utuh beserta kebesaran Sultan yang bermukim di Istana Gaja Manusu. Sebagai tempat tinggal sultan, Gaja Manusu tentu dibangun dengan cermat: harus menggambarkan aspek religi, aspek sosial, aspek politis, dsb. Sayang sekali memang kemegahannya sekarang tidak bisa disaksikan secara langsung.
Namanya juga sultan, kemegahan yang melingkunginya tentu tidak tanggung-tanggung. Fotografi, itu adalah salah satunya. Namun, justru dari foto yang dibuat pada sekitar akhir abad XIX atau awal abad XX inilah bisa disaksikan wujud fisik berbagai aspek, termasuk Istana Gaja Manusu. Salah satu foto menunjukkan adanya pintu gerbang di depan istana. Tampaknya bangunan gerbang ini cukup kokoh, dibangun dari bahan tembok, bata, dan kayu. Meski dalam cengkeraman Hindi Belanda, namun wujud fisik gerbang justru sangat berlawanan dengan gaya bangunan Eropa. Di bagian depan, dua tiang besar berbentuk persegi menjulang kira-kira 10 meter. Kedua puncaknya dilengkapi dengan kubah dari seng. Di antara kedua tiang besar ini terdapat kubah, tepatnya mankota raksasa yang menungi setiap orang yang melintas di bawahnya. 
Tepat di depan kedua tiang, dua buah meriam seperti siap menyalak. Inilah gerbang yang sebenarnya, gerbang sultan. Di belakang gerbang ini, sangat tersamar jika dilihat dari depan, ditambahkan bangunan pendukung yang bergaya Eropa. Yang menarik dari foto ini adalah suasana dimana sekitar 9 orang berdiri seperti menanti sesuatu. Sebagian di antaranya berpakaian resmi: putih dan berpeci. Ternyata, mereka bukan menanti sesuatu, mereka sedang menunggu kedatangan seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang akan memasuki Istana Gaja Manusu. Pantas saja di atas gerbang yang berbentuk mahkota tertulis: "Slamat Datang J.M.M. S.P.T. Goebernoer Djendral.Tulisan ini sekaligus menggambarkan dua hal berbeda: sang Gubernur Jenderal "pulang" ke "rumah" atau hanya sekedar berkunjung? Memang hanya dia yang merasakan, namun salamnya tetap sama: Slamat Datang Goebernoer Jendral! (http://www.hupelita.com, 2009)


Peta Politik Maluku Kekuatan Teritorial dan Genealogi Agama

Oleh : Antonius Purwanto 
dan Bambang Setaiwan

Maluku menjadi wilayah pertautan yang kental antara tradisi, agama, dan politik. Segregasi area kebudayaan dan dominasi agama mencerminkan kekuatan politik yang berbeda. Wilayah di mana dominasi Kristen lebih kuat cenderung menjadi wilayah yang mendukung ideologi nasionalis persatuan dan wilayah dengan dominasi Islam kuat cenderung mendukung partai berideologi nasionalis pembangunan.Wilayah kebudayaan masyarakat Maluku dapat dibagi menjadi tiga teritori atau area kebudayaan besar, yaitu wilayah utara (Pulau Ternate, Tidore, Halmahera, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya) yang pada saat ini secara administratif masuk ke dalam Provinsi Maluku Utara, wilayah tengah (Pulau Seram, Buru, Ambon, dan pulau-pulau Lease), serta wilayah tenggara (meliputi masyarakat di pulau-pulau tenggara, tenggara barat, dan Kepulauan Aru). Area tengah dan tenggara inilah yang saat ini menjadi wilayah administratif Provinsi Maluku.
Menurut antropolog dari Universitas Pattimura, Wellem R Sihasale, pada setiap culture area atau wilayah kebudayaan, terdiri dari berbagai subetnik dengan beragam budaya yang memiliki karakteristik tersendiri, tetapi hampir mirip atau sama satu dengan yang lain. Subetnik-subetnik masyarakat yang terbentuk dan mendiami suatu culture area membangun kehidupannya dalam suatu bentuk struktur dan pola pengelompokan masyarakat yang berbeda di antara wilayah kebudayaan masing-masing (Sihasale, 2005).
Perjalanan sejarah di ketiga wilayah kebudayaan itu membuat masing-masing wilayah memiliki corak keagamaan yang berbeda. Wilayah utara lebih mencerminkan kuatnya tradisi Islam di bawah pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore. Sebaliknya, wilayah tenggara memiliki pertautan yang kuat dengan tradisi Kristen yang dibawa Portugis dan Belanda. Sementara itu, area tengah merupakan wilayah di mana kedua tradisi keagamaan itu hadir dengan kekuatan yang hampir seimbang. Di wilayah ini jumlah pemeluk agama Islam sekitar 57 persen dan pemeluk agama Katolik dan Protestan berkisar 42 persen.
Tiga wilayah kebudayaan ini juga memberikan warna yang berbeda dalam pilihan politik masyarakat. Dalam tiga pemilu yang berjalan secara demokratis, tahun 1955, 1999, dan 2004, terlihat bahwa masing-masing wilayah memiliki corak kekuatan politik yang berbeda. Pada Pemilu 1955 bagian utara merupakan perwujudan dari kekuatan partai Islam, terutama Masyumi. Di wilayah ini kemenangan Masyumi mencapai 44,6 persen, jauh lebih unggul dibandingkan suara untuk Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik yang hanya mencapai 22,1 persen. Hal sebaliknya terjadi di bagian tenggara, suara untuk Parkindo dan Partai Katolik mencapai 60,8 persen, sedangkan Masyumi hanya meraih 20,9 persen. Sementara di wilayah perebutan pengaruh, bagian tengah (Maluku Tengah dan Kota Besar Ambon), perolehan suara partai Islam ataupun Kristen cenderung seimbang, masing-masing 43,7 persen dan 38,3 persen. Di wilayah ini Partai Syarikat Islam Indonesia cukup terasa dengan menyumbangkan 7 persen suara bagi kekuatan partai Islam.
Di mana wilayah yang cenderung memiliki stabilitas suara pemilih (stability voters) dan bagian mana yang cenderung berubah? Ternyata wilayah-wilayah di mana kekuatan pemilih Kristen dominan cenderung menjadi wilayah yang sulit berubah. Sebaliknya, wilayah-wilayah di mana pemilih Muslim dominan, cenderung lebih mudah berubah. Pemilu demokratis yang kembali digelar setelah selama enam pemilu sebelumnya kekuatan politik Indonesia dicengkeram oleh rezim otoriter memperlihatkan pola yang mirip dengan situasi 1955. Hanya saja, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Masyumi kemudian diambil alih oleh Golkar yang ciri ideologi nasionalisnya lebih bercorak developmentalis. 
Dengan demikian, terjadi perubahan ideologis kawasan politik, dari Islam menjadi nasionalisme pembangunan. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh partai-partai Kristen cenderung mengikuti garis fusi partai, mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ataupun partai-partai dengan ciri ideologi nasionalisme persatuan (state-nationalism). PDI-P memiliki keterikatan yang kuat dengan partai-partai Kristen setelah Pemerintahan Soeharto memangkas jumlah partai dan memberlakukan kebijakan fusi menjadi tiga partai pada tahun 1973. Saat itu, Parkindo dan Partai Katolik dilebur ke dalam PDI. 
Dalam Pemilu 2004 kecenderungan PDI-P mendapat dukungan dari wilayah-wilayah yang dimenanginya pada Pemilu 1999 juga masih terlihat. Kota Ambon, Maluku Tenggara, dan Kepulauan Aru memperlihatkan dukungan yang masih cukup solid pada partai ini. Meskipun suara di wilayah pemekaran dari Maluku Tenggara, yakni Maluku Tenggara Barat, berhasil dimenangi oleh Golkar, sebagian suara mengalir ke partai-partai yang memiliki akar genealogis PDI-P.
Perubahan konfigurasi
Perkembangan demokrasi di tingkat lokal yang tercermin dari penyelenggaraan pilkada mendukung asumsi bahwa figur terlihat lebih efektif menggiring dukungan ketimbang mesin politik partai. Namun, kemenangan kandidat yang didukung partai tertentu tetap berpotensi mengubah konfigurasi kekuatan politik partai.Dari 10 kali pilkada sepanjang tahun 2005-2008, termasuk di tingkat provinsi, hanya satu pertarungan di Kabupaten Buru yang mampu dimenangi Partai Golkar tanpa koalisi. Empat kemenangan selebihnya, Partai Golkar harus berkoalisi dengan beberapa partai, baik yang bernuansa Islam maupun nasionalis. Misalnya, di Kabupaten Maluku Tengah, Partai Golkar berkoalisi dengan PBR, PKPB, PAN, PNUI, dan Patriot Pancasila untuk memenangi pasangan Abdullah Tuasikal-Imanuel Seipalla sebagai bupati dan wakil bupati. Adapun di Maluku Tenggara, Partai Golkar menggandeng enam partai lainnya untuk memenangi pasangan Andreas Rentanubun-Yunus Serang.
Sementara itu, PDI-P selain memenangi Pilkada Kota Ambon juga merebut kembali Maluku Tenggara Barat dengan kemenangan kandidatnya. Dalam Pemilihan Gubernur Maluku, PDI-P yang berkoalisi dengan enam parpol lainnya memenangi kursi gubernur dan mengalahkan calon gubernur dari Partai Golkar. Pasangan Karel Albert Ralahalu dan Said Assegaff yang diusung PDI-P bahkan menang di semua kabupaten/kota. Yang menarik, pasangan calon bupati dan wakil bupati yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P di Kabupaten Seram Bagian barat dan Seram Bagian timur justru kalah oleh pasangan calon yang diusung oleh partai-partai lainnya. Selain itu, Kabupaten Seram Bagian Barat dimenangi oleh pasangan yang diusung oleh PDS, PKPB, dan Partai Pelopor. Adapun di Seram Bagian Timur pasangan Abdullah Fanath-Siti Umuria Suruwaky yang didukung oleh PKPI, PKS, dan PKPB mengalahkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P. Menanggapi Pemilu 2009, pengamat politik dari Universitas Pattimura Ambon, Jusuf Madubun, berpendapat selain faktor ideologi partai, preferensi pemilih masyarakat Maluku dalam Pemilu 2009 juga akan ditentukan oleh figur-figur yang akan diusung oleh partai politik. Perolehan suara parpol dalam pemilu nanti akan sangat ditentukan oleh sejauh mana parpol tersebut menempatkan caleg yang cukup dikenal dan diterima oleh konstituen lokal. ”Tidak tertutup kemungkinan terjadi kejutan dalam konfigurasi politik di Maluku dalam pemilu tahun ini. Baik partai yang mengusung ideologi nasionalis maupun bernuansa agama akan bersaing ketat untuk mendapatkan simpati pemilih,” ungkap Madubun. (http://cetak.kompas.com, 2009)




"Fala Raha" Dalam Kancah Demokrasi


Oleh; Krishna P Panolih

MALUKU Utara merupakan sebuah kancah tarik-menarik antara kekuatan tradisional lama dan kekuatan baru administrasi pemerintahan modern. Kekuatan aristokrasi seclang mendapat ujian berat lewat prosedur demokrasi yang tecermin dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum.Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di Maluku Utara yang digelar tahun 2007 lalu menjadi sebuah peristiwa dramatis, penuh dengan nuansa perebutan pengaruh antara aristokrasi tradisional yang bersifat lokal dan sistem demokrasi.
Keputusan KPU Maluku Utara, yang menggagalkan pencalonan Sultan Ternate Mudaffar Sjah dalam Pilkada Maluku Utara karena dinilai tidak mampu mengumpulkan dukungan suara yang dipersyaratkan, menjadi persoalan yang pelik bagi eksistensi aristokrasi lokal dan tokoh yang berpengaruh luas dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara itu. Mudaffar-Rusdi hanya didukung sekitar 12 persen suara dari PPP dan lima partai lain. Padahal, calon harus didukung partai atau gabungan partai dengan minimal 15 persen suara atau kursi di DPRD. Kekurangan dukungan itu disebabkan dua pengusung lain, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), dinilai merupakan kubu sempalan yang tak direkomendasi pengurus pusat.
Penilaian KPU ini tidak bisa diterima oleh kubu pendukung Sultan. Konflik dan bentrokan fisik pendukung Sultan dengan aparat keamanan hingga pendudukan kantor KPU setempat menjadi titik rawan tahap awal pilkada. Tampaknya konflik tidak hanya berhenti pada saat pencalonan saja. Konflik paling luas justru terjadi pascapencoblosan. Penghitungan suara Pilkada Maluku Utara menjadi momen yang paling rawan dari seluruh pilkada yang berlangsung di Indonesia, menguras energi dan menjadi konflik yang berkepanjangan. 
Pilkada Gubernur Maluku Utara diikuti empat pasang, yaitu Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo, Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba, Irvan Eddyson-Ati Achmad, dan Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel. Hasil penghitungan suara oleh KPU Maluku Utara menunjukkan Armaiyn-Kasuba menang tipis dari pasangan Gafur-Fabanyo, 37,35 persen berbanding 37,17 persen. Namun, keputusan ini kemudian dianulir oleh KPU pusat. Rapat Pleno KPU pusat justru memutuskan sebaliknya, kemenangan untuk Gafur-Fabanyo. Sejak itu konflik terbuka antara kedua pendukung terus mewarnai dunia perpolitikan Maluku Utara. Proses selanjutnya melibatkan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Menteri Dalam Negeri. Pada akhirnya diperlukan campur tangan pemerintah pusat untuk menyelesaikan. Lewat perdebatan yang panjang akhirnya Armaiyn-Kasuba diputuskan sebagai pemenang.
Sesungguhnya, Pilkada Maluku Utara adalah pemetaan riil dari kekuatan-kekuatan politik yang berkolaborasi dengan etnisitas. Thaib Armaiyn, yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, PBR, PBB, PKPB, dan PKB, sebelumnya adalah gubernur yang berasal dari Halmahera Selatan. la diperkirakan mendapat dukungan dari etnis Makian yang termasuk satu dari tiga etnis besar di Malut. Adapun calon wakilnya, Abdul Ghani Kasuba, mengandalkan dukungan dari etnis Tobelo dan Galela-dua etnis besar di Maluku Utara. Pasangan tersebut juga mendapat dukungan Sultan Ternate sehingga berpotensi mendulang suara dari masyarakat Ternate.
Sementara itu, Gafur-Fabanyo, yang diusung oleh Partai Golkar, mengandalkan dukungan massa tradisional dari daerah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Mereka diduga mendapat dukungan dari etnis Tidore, Patani, Weda, dan Gane. Mereka juga mendapat dukungan dari tim suksesnya, Syamsir Andili, yang dikenal dekat dengan kalangan pendatang asal Gorontalo, Buton, Bugis, dan Jawa. Pasangan ketiga, Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel yang didukung PDI-P mengandalkan dukungan etnis Sanana dan beberapa kantong masyarakat di Pulau Halmahera, khususnya yang tinggal di pelosok. Dan, pasangan terakhir, Irvan Eddyson-Ati Achmad yang didukung PDS, PNI Marhaenisme, Partai Merdeka, PIB, PKPI, PPDI, dan PPNUI lebih mengandalkan massa tradisional dari Galela dan Morotai. Jika ditelusuri, kekuatan politik paling berpengaruh pada masa lalu adalah Kesultanan Ternate dan Tidore meskipun bukan hanya mereka yang pernah hadir membentuk warna politik di sini. "
"Fala Raha"
Lanskap politik di Maluku Utara tak bisa dilepaskan kaitannya dengan jazirah kekuasaan empat kerajaan yang membentuk konfigurasi kekuatan politik pada kemudian hari. Jazirah itu adalah wilayah kekuasaan empat kerajaan yang dikenal denganTala Raha atau Moloku Kie Raha, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Istilah Maluku pada mulanya hanya digunakan untuk merujuk empat pusat kerajaan di Maluku Utara tersebut.Ada sejumlah dugaan bahwa Kerajaan Jailolo merupakan yang tertua dibandingkan dengan kesultanan lainnya. Kerajaan ini ditengarai berkuasa di Halmahera sebelum wilayah ini kemudian dikuasai Kerajaan Ternate dan Tidore pada awal abad ke-17.
Sejak runtuhnya kekuasaan Jailolo, wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore makin luas. Selain Pulau Ternate, wilayah kekuasaannya juga meliputi Halmahera Utara dan Selatan. Selain itu, kekuasaannya juga mencakup wilayah Kepulauan Sula, Kepulauan Banggai, serta daerah Tobungku di Sulawesi bagian timur. Sementara itu, Tidore menguasai Halmahera Tengah, tetapi kekuasaannya juga menjangkau wilayah Laut Halmahera dan Laut Seram sampai ke pesisir Irian Jaya. Adapun Kesultanan Bacan berkuasa di Pulau Bacan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (RZ Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo, 1996).
Status provinsi yang melekat pada Maluku Utara bisa dibilang merupakan fenomena penting di kawasan seluas 140.366,32 kilometer persegi ini. Saat masih jadi bagian dari Provinsi Maluku, Maluku Utara berpredikat kabupaten, bersama (Kabupaten) Halmahera Tengah, dan Kota Administratif Ternate.Keinginan untuk mandiri sebagai provinsi sudah dimulai sejak 1957, saat Pemerintah RI memulai upaya mengembalikan Irian Barat tahun 1956. Kemudian, pada 1963 sejumlah tokoh dari parpol, seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), mencoba lagi upaya itu, tetapi kandas. Begitu pun ketika sejumlah tokoh dari Delegasi Rakjat Maluku Utara mendesak hal tersebut kepada pemerintah pada akhir 1966.
Tokoh, penulis, dan pengusaha terkenal asal Maluku, Des Alwi, dalam buku Sejarah Maluku (2005) menyatakan, pada masa kekuasaan Presiden Soekarno (1950-1965), saat segala sesuatu berpusat pada Jakarta, Maluku adalah provinsi yang paling terpencil dan paling dilupakan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Baru pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie daerah ini resmi menjadi provinsi, tepatnya pada 12 Oktober 1999. Berikutnya Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan bergabung pada 2003, serta terakhir Morotai (2008). Maluku Utara merupakan cerminan sebuah provinsi dengan mayoritas (87 persen) penduduk beragama Islam dengan konsentrasi terbesar di Kota Ternate dan Halmahera Selatan. Pemeluk agama lainnya, yaitu Protestan, relatif terkonsentrasi di Halmahera Utara. Adapun pemeluk Katolik banyak mendiami Kepulauan Sula.
Perubahan konfigurasi
Maluku Utara merupakan basis Masyumi yang cukup kuat, sebagaimana tergambar dari hasil Pemilihan Umum 1955. Di sini Masyumi memperoleh 44,6 persen. Partai Islam selain Masyumi relatif tidak eksis di pemilu awal tersebut. PSII hanya meraih 0,5 persen suara. Partai lain yang cukup sukses adalah Parkindo yang memperoleh 22 persen suara. Suara untuk partai-partai nasionalis relatif tersebar. Secara keseluruhan partai-partai nasionalis mampu mengumpulkan suara 32,6 persen, dengan dukungan terbesar berasal dari Partai Indonesia Raya (PIR) Hazairin (14,8 persen) dan PNI (13 persen). Dalam Pemilu 1999 wilayah Maluku Utara dan Halmahera Tengah masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku. Pemilu ini memperlihatkan keunggulan Partai Golkar di wilayah ini. Golkar menang di dua kabupaten itu dengan meraih dukungan 43,47 persen. Tempat kedua dipegang oleh PDI-P (17,38 persen) dan selanjutnya PPP (16,66 persen).
Pemetaan yang lebih jelas dapat dilihat pada Pemilu 2004, ketika wilayah ini sudah berdiri sendiri dengan memiliki delapan kabupaten/kota. Meskipun Golkar menjadi pemenang, suaranya telah jauh berkurang, menjadi hanya 23,53 persen. Wilayah-wilayah yang dikuasainya pun hanya di lima kabupaten/kota, yaitu Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan. Tempat kedua justru dipegang oleh PKS yang mampu meraih 10,57 persen dan memenangi Halmahera Selatan yang mayoritas memeluk agama Islam. Partai kecil yang di sini sangat diperhitungkan adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK). PDS mampu memenangi suara di Halmahera Utara, tempat pemeluk agama Protestan kuat, dan PDK meraih kemenangan di Kota Ternate yang didominasi kekuatan Islam. Kemenangan PDK di sini tak lepas dari dukungan Sultan Mudaffar Sjah.
Konfigurasi politik di Maluku Utara masih sangat mungkin berubah. Salah satu sebabnya adalah pengaruh kemenangan dan kekalahan dalam pilkada. Sejauh ini hanya PKS yang konsisten memenangi pilkada di wilayah basis massanya. Sementara itu, meskipun menang di beberapa wilayah yang dikuasainya pada pemilu lalu, di Halmahera Barat, Halmahera Timur, dan Halmahera Tengah Golkar kalah dalam pilkada. Sebaliknya, meskipun tidak menang di satu pun daerah pada Pemilu 2004, PDI-P berhasil menancapkan kukunya dengan meraih kemenangan di tiga wilayah basis massa Golkar. Kekalahan Golkar menjadi kemenangan PDI-P. Tampaknya, wilayah Halmahera memang akan menjadi arena pertarungan yang ketat antara dua partai ini dalam Pemilu 2009. Namun, kekuatan Partai Demokrat dan PKS yang terus tumbuh tetap perlu diperhitungkan, selain partai-partai baru yang juga mencari peluang.(http://indonesiamemilih.kompas.com, 2009)


KAMUS MELAYU AMBON-INDONESIA (A-B)

Bahasa Melayu Ambon konon bukan berasal langsung dari Sumatera atau Semenanjung, melainkan berasal dari varian Melayu di Pulau Kalimantan. Bahasa ini lebih tepat disebut sebagai Kreol Melayu karena pada awalnya tidak dituturkan penduduk asli dan menjadi bahasa Pidgin alias antar kelompok, yang kemudian jadi bahasa Ibu sehingga disebut Bahasa Kreol Melayu.
Disini adalah kata-kata bahasa Melayu Ambon yang saya dapat baik yang saya hafal maupun dari situs-situs warga Ambon dimana-mana….termasuk ambon-manise.com yang lama-lama saya makin suka dengan situs itu…:) 
Tete, nene, nyong, non, abang, caca, usi dst…..ini beta kasi akang dolo yang A-B…yang laeng manyusul….
Ada kata-kata yang saya kosongi, berarti belum tahu artinya…tolong dong dibantuin artinya. Kalau ada yang keliru tolong dibenahi…hehehehe

Dangke banya..

A
Abang : kakak laki-laki (dipakai kalangan muslim)
Ada : ada, sedang
Ade’ : adik
Ado : aduh
Aer : air
Aer kabor : air keruh, juga ungkapan untuk suasana kacau
Akang : ….kan/ it dalam bahasa Inggris
Akor : baik, rukun
Ale : kamu, anda
Aleng : lamban
Alus : halus
Amanisal : keranjang tempat mengumpulkan ikan
Amato : salam
Ambon kart : ambon KTP
Ambong : ambon
Ampas tarigu : sejenis kue
Amper : hampir
Amplov : amplop
Ampong : ampun
Ana : anak : budak
Anana : anak-anak : budak-budak
Anana ucing : anak muda
Angka : berangkat
Antua : beliau
Apa : apa
Apalai : apa lagi
Apapa’ : apa-apa
Areng-areng : hanya
Arika : gesit
Arika : sejenis burung hutan
Asida : sejenis kue
Aso : ikut campur
Ator : atur

B
Ba’aso : mencampuri
Babengka : sejenis kue
Babengkeng : mengomel sambil bersungut-sungut
Bacarita : bercerita
Bacico : sikap tidak tenang, gelisah
Badaki : berdaki, kotor
Badang : badan
Badansa : berdansa
Badara : berdarah
Badendang : berdendang
Badepa : melangkah pindah-pindah
Badiang : diam
Badonci : bermusik
Bae : baik
Bagara : bergerak
Bahasa tana : bahasa daerah, logat tempatan. Namun juga untuk sebutan bahasa kaum terasing di pedalaman
Baileo : balai
Bajalan : berjalan
Bajualang : berjualan
Bakalai : berkelahi : bergaduh
Bakanda : selingkuh
Bakanor : berbicara sambil bersungut2
Bakasang : terasi : belacan
Bakubae : damai
Bakudapa : berjumpa
Baku malawang : melawan, bertengkar
Bakupolo : berpelukan
Balaga : berlagak
Balagu : sikap antara suka dan tidak suka
Bale : balik
Bale muka : balik muka, memalingkan muka
Balisah : gelisah
Baloleng : sama dengan baronda
Balumpa : melompat
Bamaki : memaki
Banang : benang
Bandera : bendera
Bangka : bengkak
Baniang : semacam baju
Bapa : bapak
Bapa raja : kepala kampung, kepala desa
Bapili : memilih : mengundi
Barapa : berapa
Barenti : berhenti
Baribot : ribut, gaduh
Barmaeng : bermain
Baronda : jalan-jalan tanpa tujuan
Basar : besar
Basena : senang-senang
Basena batunang : orang berpacaran
Basisou : suka membicarakan kejelekan orang lain
Basudara : saudara
Batareak : berteriak
Batarewas : unjuk rasa, teriak
Batimbang : menimbang
Batimbang sabala : berat sebelah, pilih kasih
Baterek : mengganggu, meledek
Batul : betul
Bawarmus : memerintahkan sesuatu, tetapi terserah pada yang disuruh
Bembeng : bimbing
Bendar : kota : bandar
Beta : saya
Biden : berdoa
Bijiruku :
Biking : bikin, membuat
Bisi-bisi : bisik-bisik
Blakang : belakang, punggung
Bobou : bau
Bodo : bodoh
Bodok : sangat bodoh
Boslak :
Botol : botol
Botol manci : sejenis setan
Bu : bung (panggilan untuk lelaki)
Buat tahan : mempertahankan
Bulang : bulan
Bulang trang : bulan purnama
Bumbungan kapala : ubun-ubun
Burong : burung
Burong kondo : burung bangau
Burong paikole : burung wagtail
Burong Pombo : burung merpati
Busu : busuk
Busu-busu : jelek-jelek (http://rumahkamus.wordpress.com/category/bahasa-melayu-ambon/, 24 Agustus , 2007