Senin, 20 April 2009

KHASANAH BUDAYA NUSANTARA [Agama dan Pendidikan]

Oleh ; Sugeng Riyanto

Slamat Datang Goebernoer Djendral!
JIKA kita mendengar kata "kesultanan" di Indonesia, segera kita akan menghubungkannya dengan Aceh, Banten, Cirebon, dan Mataram; atau untuk sebagian orang akan menghubungkannya dengan Palembang, Ternate, atau Tidore. Hal itu wajar mengingat kesultanan tersebut begitu terkenal dan memang sangat berperan dan mempunyai kedudukan penting, paling tidak sejak abad XII hingga XIX, bahkan sampai sekarang. Namun tidak demikian dengan sebagian kecil lainnya yang mengetahui dengan pasti bahwa kerajaan Islam yang rajanya disebut Sultan sehingga kerajaannya disebut dengan kesultanan di Indonesia jumlahnya jauh lebih banyak dari yang disebutkan itu. Sebut misalnya Buton, Jailolo, dan Bacan di kawasan timur Indonesia yang "tidak terkenal" namun sebenarnya memiliki masa lalu yang cukup gemilang pada masanya.
Oleh karena itu menarik untuk menengok peristiwa kecil di sebuah kesultanan "kecil" meskipun dalam ruang yang juga kecil. Adalah Kesultanan Bacan yang meskipun "kecil," namun memiliki sisi budaya yang ternyata tidak kecil. Bacan merupakan salah satu identitas bagi moloku kie raha atau empat kerajaan besar di Maluku Utara, yang meliputi Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan sendiri. Secara administrasi, saat ini (Pulau) Bacan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Maluku Utara. Sedangkan secara geografis pulau ini berada di ujung barat daya kaki Pulau Halmahera.
Bacan dan "Moloku Kie Raha"
Sejarah Indonesia Timur tidak terlepas dari sejarah Maluku Utara. Sejarah Maluku Utara sendiri hampir sama dengan sejarah empat kesultanan besar yang pernah menguasai wilayah ini, yaitu Moloku Kie Raha: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sebagai kesultanan, jangan dibayangkan bahwa keempatnya menjadi besar secara tiba-tiba. Sebelum memeluk Islam, keempatnya telah menjadi "kolano" (setingkat dengan kerajaan) serta memiliki kedudukan dan peran tersendiri dalam perdagangan jarak jauh. Kedatangan pengaruh Islam di Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku, berkaitan dengan jalur pelayaran, khususnya pelayaran niaga, dengan rempah-rempah sebagai kata kuncinya. Inilah titik di mana pada akhirnya beberapa aspek juga berpengaruh di kawasan ini: sosial, budaya, agama, bahasa, ekonomi, bahkan politik dan militer. Terang saja karena para pedagang pada waktu itu berasal dari berbagai bangsa.
Sejak berubah dari "kolano" menjadi kesultanan pada sekitar abad XV, keempatnya secara politis berusaha mengembangkan pengaruhnya ke berbagai tempat, khususnya ke arah timur dan selatan. Tidore, antara lain dapat memasukkan pantai barat Papua ke dalam wilayahnya; Ternate berhasil meluaskan pengaruh dan wilayahnya hingga sebagian Sulawesi, sebagian Papua, Ambon, Lease, Seram, Buru, dan Banda. Sementara itu, Bacan "gagal" meluaskan pengaruhnya, namun tetap eksis sebagai kesultanan yang mandiri. Lain halnya dengan Jailolo yang bergabung dengan Ternate dan Tidore. Akibat dinamika politik dan militer dalam perluasan wilayah tersebut, berbuntut pada retaknya "moloku kie raha." Berbagai perang antara mereka sering terjadi, termasuk perang dagang. Hal ini diperparah oleh pengaruh Barat, khususnya Belanda, dengan segala sistem ekonomi dan militernya. Silih berganti Belanda memihak, dan silih berganti mendapat berbagai keuntungan dari pihak yang "dibelanya," baik secara politik maupun ekonomi. Sebagai kesultanan yang mandiri, situasi dan kondisi ini benar-benar merugikan Bacan. Pada sekitar abad XVII "secara resmi" Bacan menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. "Secara resmi" pula Sultan Bacan menjadi "tamu" di negerinya sendiri, karena tuan rumah sekarang adalah Goebernoer Djenderal Hindia Belanda.
Slamat Datang Goebernoer Djendral!
Dari bentuk kolano hingga awal kesultanan, Bacan merupakan sosok kerajaan yang mandiri. Kedudukan dan perannya cukup besar, khususnya di kawasan Maluku dan sekitarnya. Bahkan dalam kesatuan empat kerajaan ini Bacan menunjukkan unsur budaya yang juga mandiri. Sebut misalnya dalam hal bahasa. Jika Ternate, Tidore, dan Jailolo menggunakan bahasa Halmahera Utara, maka Bacan menggunakan bahasa yang berkembang di Kepulauan Sula, termasuk dalam Bahasa Austronesia. Sebut lagi misalnya dalam pengurutan nama keempat kerajaan berdasarkan Kronik Bacan: moloku kie raha adalah Bacan, Jailolo, Tidore, dan Ternate. Kronik tersebut juga menyebutkan bahwa Raja Bacan adalah putra pertama dari empat putra Jafar Sadek yang menurunkan raja-raja moloku kie raha.
Tinggalan fisik jelas tidak bisa memungkiri masa lalu Bacan yang cukup gemilang. Beberapa yang masih dapat dilihat hingga saat ini antara lain adalah: pelabuhan tua, sisa bangunan istana "Gaja Manusu," masjid agung, bangunan rumah tinggal, makam-makam kuna, dan kelengkapan kesultanan seperti mahkota, pakaian, senjata, dsb. Khususnya tinggalan fisik berupa bangunan memang tidak meninggalkan wujudnya secara utuh: jika tidak rusak (bahkan tinggal fondasi) tentu telah diputar nyaris total. Namun cerita dibaliknya masih tetap utuh beserta kebesaran Sultan yang bermukim di Istana Gaja Manusu. Sebagai tempat tinggal sultan, Gaja Manusu tentu dibangun dengan cermat: harus menggambarkan aspek religi, aspek sosial, aspek politis, dsb. Sayang sekali memang kemegahannya sekarang tidak bisa disaksikan secara langsung.
Namanya juga sultan, kemegahan yang melingkunginya tentu tidak tanggung-tanggung. Fotografi, itu adalah salah satunya. Namun, justru dari foto yang dibuat pada sekitar akhir abad XIX atau awal abad XX inilah bisa disaksikan wujud fisik berbagai aspek, termasuk Istana Gaja Manusu. Salah satu foto menunjukkan adanya pintu gerbang di depan istana. Tampaknya bangunan gerbang ini cukup kokoh, dibangun dari bahan tembok, bata, dan kayu. Meski dalam cengkeraman Hindi Belanda, namun wujud fisik gerbang justru sangat berlawanan dengan gaya bangunan Eropa. Di bagian depan, dua tiang besar berbentuk persegi menjulang kira-kira 10 meter. Kedua puncaknya dilengkapi dengan kubah dari seng. Di antara kedua tiang besar ini terdapat kubah, tepatnya mankota raksasa yang menungi setiap orang yang melintas di bawahnya. 
Tepat di depan kedua tiang, dua buah meriam seperti siap menyalak. Inilah gerbang yang sebenarnya, gerbang sultan. Di belakang gerbang ini, sangat tersamar jika dilihat dari depan, ditambahkan bangunan pendukung yang bergaya Eropa. Yang menarik dari foto ini adalah suasana dimana sekitar 9 orang berdiri seperti menanti sesuatu. Sebagian di antaranya berpakaian resmi: putih dan berpeci. Ternyata, mereka bukan menanti sesuatu, mereka sedang menunggu kedatangan seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang akan memasuki Istana Gaja Manusu. Pantas saja di atas gerbang yang berbentuk mahkota tertulis: "Slamat Datang J.M.M. S.P.T. Goebernoer Djendral.Tulisan ini sekaligus menggambarkan dua hal berbeda: sang Gubernur Jenderal "pulang" ke "rumah" atau hanya sekedar berkunjung? Memang hanya dia yang merasakan, namun salamnya tetap sama: Slamat Datang Goebernoer Jendral! (http://www.hupelita.com, 2009)


2 komentar:

  1. “Sejak berubah dari "kolano" menjadi kesultanan pada sekitar abad XV, keempatnya secara politis berusaha mengembangkan pengaruhnya ke berbagai tempat, khususnya ke arah timur dan selatan”.


    Menurut keterangan Rumphius (1627-1702) ahli kependudukan Belanda (V.O.C) yang tinggal di Negeri Larike Hitu di Bukunya dalam bahasa Belanda tua “HET VIERHOOFDIC BESTUUR VAN HITU” menceritrakan Peran Empat Perdana Hitu di Maluku sampai pada kedatangan Portugis dalam alinea STAMBOOM VAN TANAHITUMESENG mengatakan bahwa Tubanbessi-2 Moyang Tahalele Panglima Besar Kerajaan Hitu sebelum meninggal dunia mengangkat/memerintahkan anaknya Djainal menjadi Sultan Ternate tahun 1584-1606.

    Setiap saya membaca tulisan sejarah tetang peran kekuasaan-kekuasaan di Maluku pada Jaman Keemasan Maluku, Saya tidak mengerti sebenarnya kekuasaan Islam manakah yang mempengaruhi Ternate dari Bandar perdagangan menjadi Kerajaan yang memainkan peran sangat penting di Maluku Utara……?!.



    “Wassalam’


    Halim Pelu

    BalasHapus
  2. thank atas atensinya, komentar saudara baiknya langsung ditujukan kepada suadara Sugeng Riyanto yang lebih berkompeten menjawabnya, karena artikel ini diundu saya dari website harian umum pelita.(MJL)

    BalasHapus