Kamis, 16 April 2009

Peran Lor Lebai Dalam Penyelesaian Konflik Horisontal Di Kepulauan Kei

Oleh ; M.J Latuconsina

Prolog
Mungkin karena letaknya lebih jauh dan terpencil dari Ambon, kepulauan Kei tidak populer. Bahkan sejak abad ke-15, nama Maluku sudah dikenal lewat berbagai literatur lama, namun biasanya yang sering disebut adalah Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, atau Ambon sendiri. Nama-nama daerah di Maluku Tenggara seperti Aru, Kei, atau Tanimbar seolah kalah populer. Kepulauan Kei yang merupakan wilayah administratif Kabupaten Maluku Tenggara. Penduduk setempat menyebut kepulauan ini "Nuhu Evav" (Kepulauan Evav) atau "Tanat Evav" (Negeri Evav), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di Selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah Barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. (www.wekipedia.org, 2007).
Kepulauan Kei terdiri atas sejumlah pulau, termasuk di dalamnya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dullah (Du), Dullah Laut (Du Roa), pulau-pulau Kur (Kuur), Tam (Taam) dan Toyando (Tahayad), dan beberapa pulau kecil yang tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km². Seperti di Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease mengenal adanya lembaga masyarakat pada desa-desa yang terhimpun dalam rumpun Uli Lima dan Uli Siwa, yang bercampur baurnya desa-desa Islam dan Protestan didalamnya. Biasanya disebut persekutuan adat. (Ziwar, 1987). 
Di Kepulauan Kei juga terdapat rumpun desa serupa. Namun uniknya di Kepulauan Kei rumpun desa itu terdiri dari tiga kategori yakni; rumpun penengah (Lor Lebai), rumpun lima (Lor Lim) dan rumpun sembilan (Ur Siu). (Ngamelubun dalam Elmas ed., 2004). Didalam rumpun itu bernaung desa-desa Islam, Katolik, Protestan dan Hindu yang juga berbaur diantara sesamanya. Struktur kelembagaan rumpun itu sudah berada ratusan tahun silam, yang didesain oleh leluhur Orang Kei. Struktur kelembagaan ini merupakan desain dalam kerangka pembagian wilayah adat di Kepulaun Kei. Namun struktur lembaga ini dapat juga digunakan untuk memediasi konflik internal antar desa-desa Lor Lim dan desa-desa Ur Siu. Realisasi mediasi yang dilakukan oleh lembaga ini ketika meletusnya konflik horsontal di kepulaun Kei yakni, maksimalisasi peran desa-desa Lor Lebai dalam penyelesaian konflik horisontal yang membenturkan desa-desa Lor Lim dan desa-desa Ur Siu.
Terkait degan itu, menurut Hadar (2000) Kepulauan Kei di Maluku Tenggara itu, sebenarnya mewarisi sebuah tatanan yang bisa menjadi basis rekayasa sosial-budaya kehidupan bersama yang damai. Bila istilah "teografi", yaitu tata-ruang geografis satuan wilayah permukiman berdasarkan kelompok agama penduduk, dapat diterima sebagai istilah ilmiah yang sah, maka mungkin ini hanya ada di desa-desa asli di Kepulauan Kei. Umumnya desa di Kei terbagi dalam tiga kampung: kampung Katolik, Islam, dan Kristen. Di beberapa desa, ada pula kampung Hindu. Uniknya, hampir semua penduduk satu desa yang berbeda agama itu masih merupakan satu keluarga besar atau marga yang sama. Bahkan, banyak yang berasal dari keluarga pati. 
A. Permasalahan
Bertolak dari uraian singkat tersebut, dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan menyangkut Peran Lor Lebai Dalam Penyelesaian Konflik Horisontal di Kepulauan Kei. Guna memperoleh fokus pembahasan yang spesifik, maka pembahasan ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar, antara lain: (a) Bagaimana konflik horisontal di Kepulauan Kei?, (b) Bagaimana fungsi mediasi Lor Lebai dalam penyelesaian konflik Horisontal di Kepulauan Kei? (c) Bagaimana prosesi perdamaian di Kepulauan Kei?
B. Konflik Horisontal di Kepulauan Kei
Pada tanggal, 31 Maret-24 April 1999 empat bulan pasca terjadinya konflik horisontal di Ambon, di Tual Kabupaten Maluku Tenggara pecah konflik serupa dengan yang terjadi di ibukota Provinsi Maluku tersebut. Dalam konflik ini yang bertikai adalah pihak Protestan, Katolik dan Islam. Kampung-kampung Islam di pesisir Barat Kei Kecil, seperti Selayar, Debut-Islam, Letvuan-Islam, Dian Pulau, Tetoat, Ngursit, Madwat, Ohoibadar, Ohoiren Islam dan Ohoira Islam jadi hancur. Berjatuhan sejumlah korban jiwa. Para penduduknya mengungsi ke Tual, Letman, Ohoidertawun dan Dullah. Di bagian selatan desa Kristen Ohoiseb ditanah-ratakan. Di sebelah Timur, desa Protestan Elaar pun dihancurkan oleh massa Islam. Desa Katolik Ohoidertutu terpancing karenanya untuk menghancurkan desa Danar-Islam. Di Tual, ibu-kota Kabupaten Maluku Tenggara pun banyak rumah terbakar dan jatuh korban di kedua belah pihak. 
Toko-toko warga Kristen Tionghoa dijarah dan dihancurkan. Kendati Desa Ohoitel memiliki keunikan bercampuran agama sehingga ada keluarga-keluarga dengan sebanyak tiga agama dalam satu rumah. Namun desa tersebut tidak luput juga dari penghancuran, termasuk 50 rumah umat Protestan dan 7 rumah umat Katolik. Pada 3 April 1999 kerusuhan merambat ke Pulau Kei Besar, berawal di Desa Larat. Korban berjatuhan dan hampir seluruh desa itu dihancurkan. Para penduduk mengungsi ke Elat dan ke Tual. 
Selanjutnya beberapa desa Islam di pesisir Barat Utara Pulau Kei Besar menjadi sasaran serangan orang Protestan, yakni Ohoiwait, Elralang, Wer Ohoinam, Wer Ohoiker, Wer Frawav, Uwat Air, Ohoivaa, Uwat Reyaan dan Mun Kahar. Ketiga kampung “Wer” diserang karena mereka lebih dahulu menyerang kampung Kristen Ngat. Pada 1 Mei datanglah massa Islam dari Pulau Dullah menyerang dan menghancurkan desa Protestan Dangarat. Sebuah desa Protestan lain yang dihancurkan ialah Weduar Fer di ujung selatan pulau, di mana 37 orang Kristen dibantai. (Hadar, 2000). 
Faktor pemicu kerusuhan Tual (Kei) mengandung muatan sentimen agama, sebab; Pertama dua hari sebelum kerusuhan meledak (28/3), muncul tulisan yang menghina Yesus di daerah Kiom. Tulisan itu kemudian bersahut di daerah Wearhir (29/1) dengan nada mengejek Nabi Muhammad SAW. Saat itu, isu telah beredar bahwa akan ada aksi-aksi kelompok massa tertentu dengan warna agama. (Mailoa, 1999) Kedua, desas-desus yang beredar selama ini bahwa ada yang telah melecehkan Islam, lalu perkelahian terjadi di perbatasan kota Tual (mayoritas Islam) dengan desa tetangganya, Ta’ar (Protestan). (Laksono dalam Elmas ed., 2004).
Ketiga, versi lain menyebutkan bahwa, tiba-tiba saja muncul pemicu seorang anak dituduh membuat tulisan yang menghina salah satu agama, aparat kepolisian dinilai bertindak lamban, ribuan massa mendatangi Markas Polres, terjadi pelemparan dan suasana pun dengan cepat memanas. Belajar dari pengalaman wilayah sekitarnya, masyarakat kemudian terbelah menjadi dua kelompok berdasarkan agama dan masing-masing mempersenjatai diri. Isu penyerangan pun berkembang sehingga akhirnya penyerangan yang sesungguhnya pun terjadi. (Mailoa, 1999) 
Jika kita melihat tiga faktor pemicu konflik horisontal di Kepulauan Kei dalam perspektif teori ABC Galtung (2007) merupakan konflik yang dihasilkan dari tiga faktor antara lain; pertama, adalah attitude dimana ketiga komunitas agama yang berkonflik dilandasi oleh adanya saling kecurigaan akibat tulisan-tulisan yang bernada provokasi terhadap keyakinan mereka. Kedua adalah behavior (tingkah laku), dimana kondisi ini kemudian berpengaruh terhadap behavior ketiga komunitas agama. Sehingga dari behavior itu berkembang menjadi saling hujat-menghujat diantara mereka, konflik itu-pun berkembang dengan mempergunakan senjata seadanya seperti batu, balok kayu sampai akhirnya menggunakan parang, busur, dan tombak untuk saling serang-menyerang.
Bahkan konflik yang terjadi di Kepulauan Kei tidak terlepas dari contradiction. Banyaknya provokasi di Kota Tual menyebabkan arah konflik tidak jelas, hal ini nampak dalam ketiga faktor pemicu yang disebutkan sebelumnya dimana terdapat variasi isu yang berkembang. Tak pelak, menurut Galtung (2007), berkembangnya isu yang tidak bertanggungjawab tersebut akan menyebabkan celah kontradiksi akan semakin melebar, sehingga berbuntut dengan semakin mengecilnya ruang kepercayaan satu sama lain.
Apakah konflik di Kepulauan Kei merupakan konflik agama murni, yang dipicu oleh ketiga faktor tadi? Tentu terlalu dini menarik kesimpulan. Sebab berdasarkan penulusuran penulis, terdapat tiga faktor penyebab konflik horisontal di Kepulauan Kei antara lain; pertama, adanya pertarungan kepentingan politik untuk menguasai struktur penyelenggara negara di Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya di Kota Tual sebagai ibukota Kabupaten dan pusat pemerintahan telah terjadi polarisasi kepentingan kekuasaan politik bukan saja berdasarkan kesamaan asal pulau, kampung, dan marga. Namun yang paling mencolok adalah polarisasi kepentingan kekuasaan politik berdasarkan agama. 
Polarisasi kepentingan kekuasaan politik berdasarkan agama, nampak tatkala dominasi elit Muslim dipenghujung rezim Orde Baru mulai menempati jabatan-jabatan strategis, antara lain Bupati Maluku Tenggara, sejumlah kepala Dinas dijajaran Pemkab Maluku Tenggara. Sebelumnya jabatan Bupati diisi oleh komunitas Katolik, begitu juga sejumlah kepala Dinas dijajaran Pemkab Maluku Tenggara masih didominasi oleh komunitas Katolik dan Protestan. 
Kedua, kondisi sosio-kultur masyarakat Kei yang hidup di kawasan gersang dan tandus, ditambah dengan masalah kemiskinan, dan kondisi masyarakat yang menghadapi pengotak-kotakan sosial berdasarkan status ekonomi dan agama. (Elmas, Pieter ed., 2004). Ketiga, Melemahnya semua modal sosial orang Kei. Terdapat suatu proses panjang yang sengaja untuk melemahkannya. Dan, pelemahan secara sistimatis (systematic disemowerment) ini, pada dasarnya dilakukan oleh kekuatan-kekuatan sosial politik, ekonomi dan budaya yang bekepentingan terhadap penguasaan sumberdaya yang ada di Kepulauan Kei. (Laksono, 2002).
Kemudian akibat konflik horisontal yang terjadi di Kepulauan Kei pada 31 Maret sampai dengan 24 April 1999 tersebut, tercatat sekitar 200 korban jiwa terbunuh, ratusan lainnya menderita luka parah atau ringan, sekitar 4.000 bangunan rusak, lebih dari 20 desa nyaris rata dengan tanah, dan sekitar 30.000 orang mengungsi di puluhan bangsal atau tempat penampungan sementara. (Topatimasang, dalam Elmas ed., 2004). Inilah suatu kondisi dimana konflik berdampak pada penderitaan yang harus dialami oleh masyarakat.
  C. Fungsi Mediasi Lor Lebai Dalam Penyelesaian Konflik di Kepulauan Kei
Jika konflik yang terjadi di Ambon pada 19 Januari 1999 baru berakhir pada tahun 2004, di Kepulaun Kei justru konflik yang bernuasa agama itu hanya berlangsung selama dua bulan (31 Maret- 24 April 1999). Orang lantas bertanya-tanya resep apa yang digunakan pihak-pihak yang bertikai untuk mengakhiri konflik tersebut? Sebenarnya bukan persoalan resep yang tepat digunakan untuk menyelesaikan konflik di Kepulauan Kei, tapi terdapat faktor yang mendasar bagi keberhasilan penyelesaian konflik horisontal yang terjadi di Kepulaun Kei, yakni terdapat desa rumpun penengah (Lor Lebai) yang berfungsi untuk mendamaikan desa-desa rumpun lima (Lor Lim) dan desa-desa rumpun sembilan (Ur Siu) yang berkonflik. (Ngamelubun dalam Elmas, ed., 2004). Sehingga ketika konflik horisontal yang melanda kepulauan Kei, desa-desa Lor Lebai tampil memediasi desa-desa Ur Siu dan Lor Lim untuk berdamai. 
Oleh karena itu, prakarsa Lor Lebai untuk menyelesaikan konflik horisontal diantara kedua belah pihak yang bertikai dalam perspektif governance dan manajemen konflik politik, selaras dengan pendapat Zartman (1997) bahwa, mengelola konflik secara bersama-sama untuk menyelesaikan konflik secara bersama-sama dari perbedaan yang mereka miliki. (reconciling means managing conflict by bringing the parties together to overcome their own differences). Hal ini berbeda dengan desa-desa di Pulau Ambon dan sekitarnya, dimana hanya terdapat dua kategori rumpun desa yakni; rumpun lima (Uli Lima) dan rumpun sembilan (Uli Siwa). Tak pelak ketika terjadinya konflik horizontal di Pulau Ambon dan sekitarnya tidak ada desa-desa yang mampu memediasi desa-desa yang berkonflik tersebut. Pasalnya di Pulau Ambon dan sekitarnya tidak terdapat desa kategori rumpun penengah layaknya desa rumpun penengah di Kepulauan Kei.
Padahal di desa-desa Ulisiwa dan Uli Lima di Pulau Ambon dan sekitarnya, didalamnya tidak terdapat dominasi salah satu agama, misalnya; Uli Solemata yang terdiri dari Negeri Suli, Tial Kristen adalah pemeluk Protestan, sedangkan Negeri Tulehu, Tial Islam dan Tengah-Tengah adalah pemeluk Islam. Namun ketika konflik terjadi, lembaga rumpunya tidak mampu tampil untuk memediasi konflik horisontal tersebut.(Pelu, 2007). Terlepas dari itu, dalam perspektif Zartman (1997) disebutkan bahwa Konflik bisa diatur dengan berbagai cara dan di kategorikan dalam beberapa dimensi berbeda,..(conflicts can be managed in a myriad of ways, and categorize along different dimensions,..). Dengan demikian, peran serta Desa Lor Lebai untuk menyelesaikan konflik antara desa-desa Ur Siu dan Lor Lim di Kepulauan Kei yang melakukan konflik horisontal merupakan alternatif seperti yang kemukakan oleh Zartman tersebut.
Namun sebenarnya peran Lor Lebai untuk menyelesaikan konflik, tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah dibawah kepemimpinan Bupati Drs. H.A Rahayaan dan sejumlah pejabat dijajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara memprakarsai pertemuan diantara ketiga belah pihak yang berkonflik, baik Muslim, Katolik dan Protestan. Melalui pertemuan ini, masyarakat Kei kemudian melakukan proses rekonsiliasi melalui mekanisme adat, yang dipelopori oleh desa-desa Lor Lebai. (Elmas ed., 2004). Dalam tinjauan RAISAR sebagaimana dikemukakan Zartman (1997), jika dikaitkan dengan proses penyelesaian konflik di Kepulauan Kei, maka disini digunakan mekanisme reconciling. Melalui mekanisma reconciling pemerintah daerah memprakarsai pertemuan diantara ketiga belah pihak yang berkonflik, baik Muslim, Katolik dan Protestan. Sehingga lewat pertemuan ini, masyarakat Kei kemudian melakukan proses rekonsiliasi melalui mekanisme adat, yang dipelopori oleh desa-desa Lor Lebai. Terlepas dari itu, desa-desa Lor Lebai mampu memediasi rekonsiliasi desa-desa Ur Siu dan Lor Lim. Hal ini didukung juga oleh sejumlah faktor antara lain;
Pertama, latar belakang sosiologis masyarakat Kei yang sangat menghargai tatanan adat istiadat leluhur mereka. Tidak mengherankan kita kerap mendengarkan ucapan “adat mendahului agama!”, yang merupakan jawaban khas di seluruh kepulauan Kei, jika ada yang bertanya. Penjelasan mereka adalah bahwa, adat asli Kei lebih dahulu ada, dan hidup di semua kalangan orang Kei ketimbang agama resmi yang mereka anut sekarang. (Ubro, 2004).  
 Kedua, terdapat, hukum adat Larwul Ngabal yang menjadi pegangan bagi penyelesaian konflik di daerah itu. Meski Larwul Ngabal tidak diimplementasikan untuk memberikan sangsi adat kepada mereka yang bertikai, namun Larwul Ngabal menjadi sprit rekonsiliasi antara mereka yang bertikai di Kepulauan Kei. Menurut Elmas (2004), seluruh penduduk Kei kini menyepakati pemberlakuan hukum adat Larwul Ngabal sebagai hukum tertinggi diantara mereka, tanpa membedakan asal usul (dan juga agama) masing-masing. Mereka menerimanya karena diakui mampu mengatur hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan lingkungan sekitar, dan hubungan manusia dan sang penguasa langit dan bumi (dalam agama-agama besar dunia-Islam, Katolik dan Protestan yang datang kemudian, menyebar dan dianut oleh sebagian masyarakat Kei dan juga Kepulauan Maluku, disebut sebagai ‘Allah’, ‘Tuhan Yang Maha Esa’, dan sebagainya). (Elmas, ed.,2004).
Ketiga, masyarakat di Kepulauan Kei memiliki ikatan adat yang sama, keempat, masyarakat di Kepulaun Kei memiliki teografi yang seimbang antara desa-desa Islam, Katolik dan Protestan, kelima, penduduk desa berbeda agama di Kepulauan Kei, umumnya merupakan anggota dari satu keluarga besar (extended family)/marga yang sama. Bahkan ada diantara mereka yang masih merupakan keluarga anggota dari satu keluarga pati (nucleas family).
D. Penyelesaian Konflik Horisontal di Kepulauan Kei
a) Perdamaian di Kei Kecil
Rekonsiliasi Di wilayah Maluku Tenggara, khususnya di Tual, masyarakat Muslim dan Kristen kini dapat hidup berdampingan. Mereka bahkan telah bahu-membahu, didukung oleh aparat militer dan kepolisian yang netral, membangun kembali daerahnya dan berkomunikasi satu sama lain untuk mencegah masuknya kembali provokator dari luar. Sekolah telah berjalan normal. Murid-murid beragama Islam, Kristen, maupun Katolik dapat duduk sebangku. Peribadatan, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari pulih kembali, kecuali hubungan dengan luar daerah. (Crisis Centre Keuskupan Amboina, 1999).
Di desa Abean kini sementara berlangsung pembangunan kembali gereja dan mesjid, yang melibatkan semua warga yaitu Muslim dan Katolik. Sedangkan di desa Kamear pada 2 Februari 1999 diadakan acara silaturahmi antar umat desa Abean, Kamear dan Vatngon, melibatkan 500 anggota masyarakat. Isak dan tangis mewarnai acara tersebut. Turut hadir tokoh-tokoh umat dan masyarat, antara lain para kepala desa/dusun, Raja Songli (Rumat), Pastor Paroki Rumat dan alim ulama lainnya. (Crisis Centre Keuskupan Amboina, 1999).
Pada kesempatan itu pun tokoh pemuda dari Abean bernama Umar Kobarubun, menyatakan bahwa dalam bulan Maret/April tahun lalu, selama kerusuhan, sudah terjalin kerja sama kedua pihak melalui penjagaan-bersama, kemudian dilanjutkan dengan membangun kembali sarana ibadat. Dijelaskannya bahwa sikap ini terutama berakar pada hukum adat larvul ngabal: walaupun berbeda golongan, namun tetap berasal dari satu mata rantai, yaitu "Hera Mehe Yanan Ubun" = "Satu orang punya Anak Cucu".
Dasar itu pun dikemukan oleh tokoh pemuda Katolik Norbertus Savsavubun, yang mengungkapkan kesadaran masyarakat Kei tentang hubungan yang baik berdasarkan tanda ikatan "Ain Ni Ain" = "Engkau adalah saya dan saya adalah engkau". Sebelumnya kegiatan serupa sudah dilaksanakan di desa Wain dan Ibra, dan kemudian dilangsungkan pula di desa Danar. Acara ini selalu dimeriahkan dengan tarian adat, dengan menyanyi lagu-lagu yang berirama qasida dan rohani, dan tak lupa diiringi dengan saling berpelukan dan meneteskan air mata. 
Danar pun, khususnya dusun Ohoiseb, secara fisik mengalami dampak kerusuhan dengan amat mendalam. Pada tanggal 14 Maret 1999, di situ pun diadakan acara silaturahmi sebanding dengan acara di Kamear. Raja Danar, Mohamad Hanubun, menegaskan bahwa, awalnya kerusuhan itu terletak pada generasi muda. Ia menghimbau seluruh masyarakat agar sejak terbenamnya matahari di ufuk barat, maka makna silaturahmi ini harus betul-betul tertanam dalam hati yang mempunyai niat yang baik untuk saling memaafkan dan selanjutnya menjaga persaudaraan dan kerukunan antar umat beragama. Raja Rumat, G.Setitit, menyampaikan pesan yang senada, disertai pesan kepada para orang tua untuk membina generasi muda dan memupuk pada mereka hukum adat demi menjaga mutu persatuan dan kesatuan umat beragama. (Crisis Centre Keuskupan Amboina, 1999).
b) Perdamaian di Kei-Besar
Pada 31 Maret 1999 sedikitnya 5000 warga Elat, Kei Besar, secara spontan memperingati satu tahun terpecahnya kerusuhan di Kei. Acara tersebut berlangsung di lapangan Ngur Mas Yamlin, dan turut dihadiri oleh warga dari beberapa desa sekitar. Bupati Malra bersama Muspida pun berkenan hadir pada pertemuan massal itu. Ketua panitia, R.Lasol, seorang tokoh Katolik, dalam sambutannya menjelaskan bahwa makna kegiatan rekonsiliasi ini adalah pembaharuan diri dengan melepaskan sikap iri hati dan rasa dendam antar sesama umat beragama. 
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan penataan sikap cinta damai, ditanda-tangani oleh tokoh-tokoh masyarakat dan para tokoh agama ketiga golongan. Pernyataan sikap cinta damai itu terdiri atas lima butir berikut ini:
1) Tidak menghendaki adanya perpecahan; 
2) Tekad untuk menjalin persatuan dan cinta antar sesama; 
3) Berniat menciptakan rasa aman tanpa bedakan SARA; 
4) Membangun budaya cinta sebagai wujud dari keselamatan dan 
5) Mengharapkan agar pemerintah dan aparat ke-amanan bertindak tegas dan bijaksana bagi siapa pun yang mau menghancurkan rekonsiliasi ini. 
Acara dilanjutkan dengan penyerahan senjata tajam dan menyalakan api, yang kemudian disirami air sebagai lambang tekad untuk memadamkan segala perpecahan. Menyusullah kata-kata sambutan, anta-ra lain dari Bupati dan dari Wakil Uskup PP.Kei-Aru, Pastor Gino Farneubun MSC. (Crisis Centre Keuskupan Amboina, 1999).

Epilog
 Kesimpulan
Konflik horisontal yang dialami masyarakat di Kepulauan Kei dapat diselesaikan oleh mereka sendiri. Hal ini tidak terlepas dari struktur kelembagaan desa yang mampu berfungsi untuk menyelesaikan konflik. Struktur desa di Kepulauan Kei yang terdiri dari tiga yakni desa rumpun lima (Ur Lim), rumpun sembilan (Lor Lim) dan desa rumpun penegah (Lor Lebai). Oleh karena itu ketika konflik desa-desa Lor Lebai mampu memaksimalkan peran mereka untuk memediasi konflik yang terjadi.
Peran Lor Lebai untuk menyelesaikan konflik, tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah dibawah kepemimpinan Bupati Drs. H.A Rahayaan dan sejumlah pejabat dijajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara memprakarsai pertemuan diantara ketiga belah pihak yang berkonflik, baik Muslim, Katolik dan Protestan. Melalui pertemuan ini, masyarakat Kei kemudian melakukan proses rekonsiliasi melalui mekanisme adat, yang dipelopori oleh desa-desa Lor Lebai.
Dalam tinjauan RAISAR sebagaimana dikemukakan Zartman (1997), jika dikaitkan dengan proses penyelesaian konflik di Kepulauan Kei, maka disini digunakan mekanisme reconciling. (Crisis Centre Keuskupan Amboina, 1999). Melalui mekanisma reconciling pemerintah daerah memprakarsai pertemuan diantara ketiga belah pihak yang berkonflik, baik Muslim, Katolik dan Protestan. Sehingga lewat pertemuan ini, masyarakat Kei kemudian melakukan proses rekonsiliasi melalui mekanisme adat, yang dipelopori oleh desa-desa Lor Lebai. Terlepas dari itu, desa-desa Lor Lebai mampu memediasi upaya rekonsiliasi desa-desa Ur Siu dan Lor Lim, karena didukung juga oleh sejumlah faktor antara lain;
Pertama, latar belakang sosiologis masyarakat Kei yang sangat menghargai tatanan adat istiadat leluhur mereka. Kedua, terdapat, hukum adat Larwul Ngabal yang menjadi pegangan bagi penyelesaian konflik di daerah itu. Ketiga, masyarakat di Kepulauan Kei memiliki ikatan adat yang sama, keempat, masyarakat di Kepulaun Kei memiliki teografi yang seimbang antara desa-desa Islam, Katolik dan Protestan, kelima, penduduk desa berbeda agama di Kepulauan Kei, umumnya merupakan anggota dari satu keluarga besa (extended family)/ marga yang sama. Bahkan ada diantara mereka yang masih merupakan keluarga anggota dari satu keluarga pati (nucleas family).
Kemudian satu hal yang membuat rekonsiliasi itu sukses, karena dalam diri orang-orang Kei terdapat pemaknaan bahwa mereka adalah bersaudara, meski berbeda agama (Islam, Katolik dan Protestan), sebagaimana peribahasa Kei beriku ini; Vu'ut ain mehe ngivun ne manut ain mehe ni tilur, Telur dari satu ekor ikan saja, dan telur dari satu ekor burung belaka; semua orang itu pada hakikatnya bersaudara, laksana banyak telur yang berasal dari satu ekor ikan atau satu ekor burung saja. 
Bahkan orang-orang Kei juga sangat menghargai adat istiadat mereka, sehingga tidak mengherankan sering terlontar dari mulut orang-orang Kei bahwa; “adat mendahului agama!”, yang merupakan jawaban khas di seluruh kepulauan Kei, jika ada yang bertanya. Penjelasan mereka adalah bahwa, adat asli Kei lebih dahulu ada, dan hidup di semua kalangan orang Kei ketimbang agama resmi yang mereka anut sekarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar